Mohon tunggu...
Kris Wantoro Sumbayak
Kris Wantoro Sumbayak Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Gajinya Kecil, Kenapa Mau Menjadi Guru?

27 Januari 2023   15:37 Diperbarui: 28 Januari 2023   04:10 1767
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi guru mengajar peserta didiknya.|Sumber: Kompas/Tatang Mulyana Sinaga

"Mr, kan Mr tahu kalau jadi guru gajinya kecil. Tapi kenapa tetap mau menjadi guru?"

Demikian pertanyaan menohok salah seorang muridku, setelah beberapa waktu lalu kami mendiskusikan keberagaman profesi dalam pelajaran Tematik. Entah dari mana dia tahu gaji guru (swasta) kecil. Perlu kuliah 3 SKS rasanya untuk menjawab pertanyaan ini. Maka, kujawab sebisanya.

Pertanyaan muridku ini memutar kembali rasa ingin tahu beberapa tahun lalu. Kebanyakan sekolah swasta dimiliki oleh yayasan Kristen dengan etnis Tionghoa. Tapi kenapa gurunya yang etnis Tionghoa sangat sedikit? Bisa jadi, jawabannya mengacu pada kalimat pertanyaan muridku. "Gajinya kecil."

Apakah aku menjadi guru karena melihat gajinya? Apakah kalau ada pekerjaan lain yang gajinya lebih tinggi tapi tidak aku sukai, aku tetap melakoninya? Apakah aku bisa bertahan dengan gaji kecil sebagai guru, sedang kebutuhan terus bertambah? Dan banyak pertanyaan lain sering mengusik pikiranku.

Berikut ini alasan yang paling masuk akal untuk menjawab pertanyaan muridku.

1) Panggilan hidup

"Kelak, kalau kamu dewasa kamu akan tahu apa yang namanya panggilan hidup, Nak" Itu kalimat pertamaku untuk muridku. 

Panggilan hidup, makanan apa ini? Entahkah otak anak ini sudah bisa memahaminya atau belum. "...artinya, kita harus melakukan apa yang menjadi panggilan hidup kita. Tidak bisa dihindari," lanjutku.

Anda merencanakan hendak mengunjungi suatu tempat. Dalam perjalanan, di sebuah persimpangan, Anda dibelokkan di arah yang lain, bahkan berlawanan dengan tujuan. Begitu tiba, Anda menikmati hari-hari di tempat itu, meski bukan tujuan Anda yang semula. Kira-kira begitulah makna panggilan.

Di awal kuliah, aku tak berpikiran menjadi guru. Berbicara di depan umum saja fales. Mengajar anak-anak? Tak mungkin bisa. Namun seiring perjalanan, saat mengerjakan tugas akhir aku dibukakan, dibentuk dan dituntun sedemikian rupa untuk menjadi guru.

Ilustrasi menjadi guru | foto: Republika/Putra M. Akbar
Ilustrasi menjadi guru | foto: Republika/Putra M. Akbar

Ada yang bilang, gurulah yang mengantar anak mencapai apa pun impiannya---presiden sekalipun. Ya, aku ingin menjadi guru yang tidak hanya memberi wawasan, tapi juga menyentuh hati para murid. Lihatlah bagaimana bapak/ibu guru mengantar Nono dari NTT menjadi juara 1 dunia dalam olimpiade Matematika.

Karier pertamaku sebagai guru IPA di sebuah SMP, lalu mengajar anak-anak SD saat menjadi relawan gempa di Lombok. Dan kini, di sinilah aku, guru SD. Aku menikmati dan mensyukuri panggilan ini.

2) Suka mengajar

Salah satu ciri panggilan hidup adalah kita menyukai pekerjaan itu. Tak peduli gajinya besar atau kecil. Tak soal tantangannya ringan atau berat. Tak soal kuat atau tidak, kalau sudah panggilan ya dijalani.

Aku suka mengajar. Aku suka berinteraksi dengan anak-anak. Hal itulah yang membuatku makin meyakini, menjadi guru adalah panggilanku. Berinteraksi dan menyelami setiap aspek hidup anak-anak membuatku hidup. Meski, sering kali aku benci dengan administrasi yang bejibun.

Lebih suka lagi, kalau ada satu dua anak yang mempraktikkan ilmu yang dipelajari. Ada juga perubahan perilaku yang lebih baik dibanding sebelumnya. Itulah esensi pendidikan, tidak hanya memberi ilmu, tapi juga membentuk karakter.

Aku juga menganggap mereka seperti anak sendiri. Jadi pasti ya diajar, dididik, didisiplin dengan benar dan sungguh-sungguh. Otaknya pintar, karakternya juga harus benar.

3) Mensyukuri pekerjaan

Alasan ketiga, yang tidak kalah penting kenapa aku tetap mau menjadi guru meski gajinya kecil adalah rasa syukur. Meski gajinya tidak besar, lima hari kerja pulangnya sore terus. Tapi Sabtu libur, masih bisa mengerjakan sambilan ngelesi (memberi tambahan pelajaran). Sesekali berjualan makanan.

Lihat saja, mereka yang kerja setiap hari, berangkat pagi pulang petang. Kadang minggu tetap masuk. Mereka yang gajinya dipotong karena perusahaan berkurang pemasukannya.

Atau mereka yang dulunya nyaman dan mapan dengan gaji yang besar, kini harus menganggur entah karena efek pandemi Covid-19 maupun krisis ekonomi global. Atau mereka yang berjuang mengajar murid hanya dibayar Rp500.000/bulan. Kalau tidak terlambat. Kalau ada dananya.

Dalam banyak momen krisis, aku dan teman-teman guru tetap boleh menikmati pekerjaan dengan gaji penuh, dalam kondisi sehat. Bukankah itu lebih dari cukup untuk sekadar mengingat kata "syukur". Masih masih bisa cukup makan, sedikit berbagi pada sesama, bahkan bisa menabung sedikit.

Itu semua karena pemeliharaan Tuhan. Nah, ini juga ciri bahwa yang aku jalani adalah panggilan hidup: Tuhan yang memelihara.

Akankah beralih profesi?

Kalau ada pekerjaan lain yang memberi gaji lebih besar, akankah aku beranjak? Entahlah. Sejauh ini, aku meyakini Tuhan masih menghendaki aku menjadi guru. Berproses bersama murid-muridku.

Semoga ada kesempatan aku menorehkan warisan karakter dan nilai-nilai kasih, keadilan dan kebenaran di hati murid-muridku. Kelak, saat dewasa mereka boleh mengingat pernah ada bapak/ibu guru yang pernah belajar bersama mereka.

Kepada muridku terkasih, sudah tahu kan kenapa Mr bertahan menjadi guru meski gajinya kecil? --KRAISWAN 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun