Ada yang bilang, gurulah yang mengantar anak mencapai apa pun impiannya---presiden sekalipun. Ya, aku ingin menjadi guru yang tidak hanya memberi wawasan, tapi juga menyentuh hati para murid. Lihatlah bagaimana bapak/ibu guru mengantar Nono dari NTT menjadi juara 1 dunia dalam olimpiade Matematika.
Karier pertamaku sebagai guru IPA di sebuah SMP, lalu mengajar anak-anak SD saat menjadi relawan gempa di Lombok. Dan kini, di sinilah aku, guru SD. Aku menikmati dan mensyukuri panggilan ini.
2) Suka mengajar
Salah satu ciri panggilan hidup adalah kita menyukai pekerjaan itu. Tak peduli gajinya besar atau kecil. Tak soal tantangannya ringan atau berat. Tak soal kuat atau tidak, kalau sudah panggilan ya dijalani.
Aku suka mengajar. Aku suka berinteraksi dengan anak-anak. Hal itulah yang membuatku makin meyakini, menjadi guru adalah panggilanku. Berinteraksi dan menyelami setiap aspek hidup anak-anak membuatku hidup. Meski, sering kali aku benci dengan administrasi yang bejibun.
Lebih suka lagi, kalau ada satu dua anak yang mempraktikkan ilmu yang dipelajari. Ada juga perubahan perilaku yang lebih baik dibanding sebelumnya. Itulah esensi pendidikan, tidak hanya memberi ilmu, tapi juga membentuk karakter.
Aku juga menganggap mereka seperti anak sendiri. Jadi pasti ya diajar, dididik, didisiplin dengan benar dan sungguh-sungguh. Otaknya pintar, karakternya juga harus benar.
3) Mensyukuri pekerjaan
Alasan ketiga, yang tidak kalah penting kenapa aku tetap mau menjadi guru meski gajinya kecil adalah rasa syukur. Meski gajinya tidak besar, lima hari kerja pulangnya sore terus. Tapi Sabtu libur, masih bisa mengerjakan sambilan ngelesi (memberi tambahan pelajaran). Sesekali berjualan makanan.
Lihat saja, mereka yang kerja setiap hari, berangkat pagi pulang petang. Kadang minggu tetap masuk. Mereka yang gajinya dipotong karena perusahaan berkurang pemasukannya.