Kalau kamu bertanggung jawab, kamu akan disegani dan dihormati orang lain. Demikian nasihat orang dewasa pada anak-anak.
Hak dan kewajiban (di dalamnya ada tanggung jawab sebagai aksi konkret) diajarkan sejak anak di Sekolah Dasar (SD). Karakter ini penting, karena jika tidak diajarkan di sekolah di mana lagi mereka akan belajar.
Meski sebenarnya karakter ini harusnya diajarkan pertama kali oleh orangtua di rumah. Hari-hari ini, banyak orangtua melimpahkan tugas ini pada guru di sekolah, betul?
Tanggung jawab murid di sekolah di antaranya datang ke sekolah tepat waktu, menghargai perbedaan antarteman, menjaga kebersihan dan ketertiban ruang kelas, dan tentunya mengerjakan tugas sesuai petunjuk yang diberikan dan mengumpulkan tepat waktu. Hal pengumpulan tugas menjadi "penyakit" tahunan bagi anak-anak.
Guru dan wali kelas seperti debt collector menjelang rapotan (penerimaan rapor). Harus mendesak para murid yang tidak bertanggung jawab, tidak disiplin mengerjakan tugas.
Jadi guru harus sabar menghadapi para murid sejenis ini. Harus makin sabar kalau tidak ada kerja sama yang baik dari orangtua, yang merasa (menuntut) anaknya harus membereskan semua urusan sekolah tanpa kesalahan; sedang mereka tidak memberi dukungan.
Selain tanggung jawab utama dalam pelajaran, ada tanggung jawab lain yang melekat pada murid di sekolah. Akhir-akhir ini, murid-murid di sekolahku bergerak dengan sangat aktif dan lincah. Sayangnya, keaktifan ini kadang melebihi batas. Dampaknya, beberapa perlengkapan sekolah menjadi rusak.
Misalnya, meja yang dicoret-coret dengan correction pen, dengan gunting/ benda tajam, layar proyektor yang sobek, hingga kabel HDMI (kabel penghubung tampilan di komputer ke LCD proyektor) yang patah. Bagaimana bisa? Ya karena aktif yang kelewat batas tadi.
Beberapa kali aku mendapati aksi tidak bertanggung jawab murid, maupun kesaksian dari murid lain. Aku langsung tegur dengan keras dengan ultimatum "harus mengganti alatnya dengan yang baru".