Mohon tunggu...
Kraiswan
Kraiswan Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Kalau Tak Berutang, Saya Tak akan Punya Apa-apa

6 Desember 2022   13:24 Diperbarui: 11 Desember 2022   19:26 975
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Artikel ini bertolak belakang dengan artikelku sebelumnya tentang utang/ hutang (di sini). Dalam artikelku itu, aku menghayati bahwa hidup paling enak adalah yang tanpa hutang. Namun, ada sudut pandang lain tentang hutang yang layak disimak.

Indonesia sebagai negara berkembang takkan bisa menjalankan roda perekonomian jika tidak berhutang pada negara lain. 

Seorang pengusaha takkan bisa menjalankan usahanya untuk membangun toko, ruang produksi, peralatan dan gaji pegawai jika tidak berhutang. Garis bawahi, selama hutang diikuti tanggung jawab untuk membayar berarti sah saja.

Ayahku tak punya hutang, kerena prinsipnya dia tidak mau hidup dengan berhutang. Meski begitu beban pikirannya tinggi karena semua dipikirkan dan ditahan-tahan. 

Untuk membeli sepeda motor misalnya, dia rela menabung bertahun-tahun sampai punya cukup uang untuk membeli motor baru secara tunai. Sebelumnya ia sabar memakai motor butut untuk mobilitasnya. Sering macet, rusak dan kendala lain menjadi menu wajib.

Prinsip ayahku wajar, sebab dia hanya pekerja serabutan. Bukan pegawai yang punya gaji tetap berikut tunjangannya. 

Namun, efek sampingnya adalah ayahku sering mengabaikan hal-hal yang menjadi kebutuhan, tak kunjung dipenuhi karena tidak ada biaya, dan tidak ingin berhutang. 

Misalnya untuk renovasi rumah maupun kamar mandi. Selama masih bisa dipakai, tak usah direnov. Padahal hal itu merepotkan orang lain.

Suatu hari aku mengobrol santai dengan tetanggaku, pria paruh baya seusia bapakku. Saking akrabnya kami, beliau sudah menjadi seperti bapakku. Aku banyak belajar darinya.

Berikut adalah cerita singkat kisah hidupnya, sebut saja Pak Seno. Pak Seno lahir di Gunungkidul, Jogja. Lulus SMP sekitar tahun 70-an, dia diajak kakaknya ke Salatiga untuk bekerja di sebuah kampus, posisi cleaning service atau semacamnya. Karena prosesnya lama, dia lalu mencoba mendaftar ke tempat lain.

Seno muda mencoba ke sebuah kantor dana pensiun di Salatiga, sebagai petugas kebersihan dan serabutan. Pokoknya punya pekerjaan. 

Diceritakannya, dia sering mondar-mandir ke kantor pos dengan sepeda onthel untuk mengantar surat. Mau hujan badai, dia tetap harus pergi.

Dia menempati salah satu kamar untuk pegawai di kantornya. Suatu petang, ada mahasiswa (beberapa kamar di tempat kerja Seno dikoskan untuk mahasiswa) yang hendak mengetik tugas akhir di komputer (jadul), tapi tetiba komputernya eror. 

Saat itu, mahasiswa yang lain sedang tidak di tempat. Mahasiswa ini bertanya pada Seno, apakah bisa membetulkan komputer. (Lho, tidak tahu mahasiswa itu bahwa Seno hanya lulusan SMP)

Beda tipis antara nekat dan beriman, Seno mengotak-atik juga komputer itu. Entah disentuh apanya, komputernya kembali berfungsi. Wow! Sejak saat itu, menyebarlah kabar via mulut (gethok tular), bahwa Seno si petugas kebersihan bisa mengoperasikan komputer.

Ilustrasi meminjam uang di bank | foto: reuters via solopos.com
Ilustrasi meminjam uang di bank | foto: reuters via solopos.com

Salah satu pegawai kantor mengalami masalah dengan komputernya. Sedang para rekan pegawai ini tidak ada yang bisa membetulkan komputer, keluarlah nama Seno disebut. Seno dipanggil ke kantor untuk mencoba mengatasinya. Meski pernah diremehkan, "Lha apa kamu bisa?"

Nyatanya, Seno berhasil membetulkan komputer tersebut. Yang lain mangguk-mangguk. Karena mahasiswa yang salah alamat tadi, Seno tetiba dikenal sebagai ahli komputer. Padahal wujud komputer juga baru Seno lihat di Salatiga.

Akhirnya Seno diangkat menjadi pegawai kantor di bagian administrasi. Lho, dari petugas kebersihan bisa jadi pegawai kantor. Seno mengalami level up, keren!

Kembali ke obrolan dengan Pak Seno (masa kini). Dalam obrolan bebas itu, tetiba Pak Seno mengatakan, "Kalau tak berhutang, saya tak akan punya apa-apa, mas." Sebagai pegawai, Pak Seno punya gaji tetap. Atas kebaikan hati bosnya, dia dipinjami sejumlah uang, dipotong gaji bulanan.

Seno muda yang berangkat dari kampung Gunungkidul tanpa membawa apa-apa, kemudian bisa menikah, dikaruniai dua anak, bisa membeli rumah, beli motor dan perkakas pengisi rumah bahkan menguliahkan anak sampai lulus. Padahal sebelumnya dia pindah-pindah rumah kontrakan. Dipinjami rumah oleh kantornya beberapa kali juga pernah.

Nasib Pak Seno dan ayahku ada kemiripan. Sama-sama hidup susah. Bedanya, ayahku kerja serabutan, sedang Pak Seno pegawai kantoran dan pola pikirnya lebih maju. 

Perbedaan ini yang memfasilitasi Pak Seno untuk berani berutang. Karena dia tahu bisa membayar utang melalui gaji yang dipotong tiap bulan.

Dalam sudut pandang lain, aku setuju dengan prinsip Pak Seno. Kalau tidak berutang, aku takkan bisa memenuhi kebutuhan yang mendesak. Pertama tentang gerbang rumah. 

Rumah yang kami tinggali daerah perumahan, milik orang tua, belum ada gerbangnya. Agak repot karena harus memasukkan motor kalau malam. Lalu anak bayi kami sudah bisa berjalan. Begitu pintu terbuka, langsung meluncur ke rumah tetangga melewati jalan aspal.

Kedua, tentang laptop. Laptopku sebelumnya aku pakai sejak zaman mengerjakan tugas akhir kuliah (sekitar 2015). 

Sudah aku tambah SSD, namun kinerjanya masih lambat, padahal mobilitas pekerjaan tinggi. Perangkatnya sudah ketinggalan. Laptop untuk mengetik artikel ini sudah dengan yang baru. Lebih canggih dan kinerjanya optimal. Puji Tuhan!

Kalau aku tidak berhutang, aku takkan bisa memasang pagar rumah dan membeli laptop. Di mana aku berhutang? Yang jelas bukan pinjol, ya! Aku tidak berani berhutang ke bank, karena tidak punya jaminan. Lalu dari mana?

Atas info rekanku, aku disarankan meminjam uang ke Bank Jateng melalui MOU dengan yayasan. Tapi bagaimana angsurannya, lalu bunganya?

Aku berdiskusi dengan istri untuk beberapa waktu, mulanya dia keberatan. Namun, kemudian mendukung juga. Kami sudah berusaha menyisihkan gaji uang les bisa Rp400.000/bulan. 

Itu kalau tidak ada acara lain-lain. Agar bisa memasang gerbang dan membeli laptop perlu lebih dari setahun. Anak kami keburu bisa berlari nanti.

Singkat cerita aku menghubungi sekretaris yayasan dan melengkapi semua berkas yang diperlukan. Aku disarankan mengajak teman agar biaya potongannya lebih ringan. 

Gambarannya, pinjaman Rp20.000.000 untuk 2 tahun angsuran, dipotong administrasi Rp400.000. Jaminannya hanya SK pegawai.

Angsuran dan bunganya cukup ringan, masih tertutup dengan gaji dari les. Keuntungannya, aku bisa memenuhi dua kebutuhan sekaligus di muka. Kalau menabung dulu, butuh waktu cukup lama.

Demikian ceritaku. Aku terpaksa berhutang, karena jika tidak aku "takkan punya apa-apa". Kuncinya: ada tanggung jawab untuk membayar dan bukan sekedar untuk gaya hidup hedon. --KRAISWAN 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun