Nasib Pak Seno dan ayahku ada kemiripan. Sama-sama hidup susah. Bedanya, ayahku kerja serabutan, sedang Pak Seno pegawai kantoran dan pola pikirnya lebih maju.Â
Perbedaan ini yang memfasilitasi Pak Seno untuk berani berutang. Karena dia tahu bisa membayar utang melalui gaji yang dipotong tiap bulan.
Dalam sudut pandang lain, aku setuju dengan prinsip Pak Seno. Kalau tidak berutang, aku takkan bisa memenuhi kebutuhan yang mendesak. Pertama tentang gerbang rumah.Â
Rumah yang kami tinggali daerah perumahan, milik orang tua, belum ada gerbangnya. Agak repot karena harus memasukkan motor kalau malam. Lalu anak bayi kami sudah bisa berjalan. Begitu pintu terbuka, langsung meluncur ke rumah tetangga melewati jalan aspal.
Kedua, tentang laptop. Laptopku sebelumnya aku pakai sejak zaman mengerjakan tugas akhir kuliah (sekitar 2015).Â
Sudah aku tambah SSD, namun kinerjanya masih lambat, padahal mobilitas pekerjaan tinggi. Perangkatnya sudah ketinggalan. Laptop untuk mengetik artikel ini sudah dengan yang baru. Lebih canggih dan kinerjanya optimal. Puji Tuhan!
Kalau aku tidak berhutang, aku takkan bisa memasang pagar rumah dan membeli laptop. Di mana aku berhutang? Yang jelas bukan pinjol, ya! Aku tidak berani berhutang ke bank, karena tidak punya jaminan. Lalu dari mana?
Atas info rekanku, aku disarankan meminjam uang ke Bank Jateng melalui MOU dengan yayasan. Tapi bagaimana angsurannya, lalu bunganya?
Aku berdiskusi dengan istri untuk beberapa waktu, mulanya dia keberatan. Namun, kemudian mendukung juga. Kami sudah berusaha menyisihkan gaji uang les bisa Rp400.000/bulan.Â
Itu kalau tidak ada acara lain-lain. Agar bisa memasang gerbang dan membeli laptop perlu lebih dari setahun. Anak kami keburu bisa berlari nanti.
Singkat cerita aku menghubungi sekretaris yayasan dan melengkapi semua berkas yang diperlukan. Aku disarankan mengajak teman agar biaya potongannya lebih ringan.Â