Mohon tunggu...
Kraiswan
Kraiswan Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Beda Adat, Siapa Takut? #13

25 November 2022   14:42 Diperbarui: 25 November 2022   14:47 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seratus hari adalah waktu yang panjang dalam penantian. Aku termasuk orang yang tidak sabaran. Itulah sebabnya, dari banyak pengalaman sebelumnya aku mengalami kegagalan karena disetir oleh perasaan.

Dalam masa doa pribadi ini, Yanti berpikir untuk membatasi komunikasi denganku. Tujuannya supaya hati dan pikirannya lebih murni dalam mengambil keputusan. Aku tidak setuju. Sebab justru di masa doa pribadi ini perlu berkomunikasi agar makin dibukakan tentang kepribadian serta motivasi masing-masing.

Jika tidak berkomunikasi, bagaimana mau saling mengenal? Padahal tidak tinggal satu kota. Kapan bisa bertemu lagi juga tidak tahu.

Saat menceritakan hal ini pada kakak rohaninya, Yanti justru mendapat teguran. Kakaknya itu merekomendasikan justru dalam masa doa pribadi ini harus berkomunikasi. Nah kan... Maklum lah, namanya juga belum pernah pacaran...

Maka, kami pun berusaha membangun komunikasi lebih intens. Menceritakan banyak hal tentang keluarga, pekerjaan, pelayanan, rekan kerja maupun pergumulan masing-masing. Satu demi satu, kepingan pengenalan kami satu sama lain makin dibukakan. Jarak jauh tidak menghalangi proses pengenalan. Bersyukur saat itu sudah ada teknologi panggilan video WhatsApp.

Rosmayanti Naibaho. Di awal-awal PDKT, aku tidak tahu nama lengkapnya, tidak sadar dia orang Batak. Selama kuliah, temanku orang Batak hanya hitungan jari, tidak akrab. Jadi tidak punya gambaran seperti apa orang Batak. Hanya dari kata orang, orang Batak itu galak. Kalau ngomong seperti orang marah-marah.

Syukurnya aku tidak melihat Yanti sebagai wanita yang galak. Aku bersyukur Yanti sudah banyak diubahkan karakternya saat kami bertemu---salah satunya berkat Kelompok Tumbuh Bersama. Dulunya, doi juga galak, suka marah-marah. Hal ini dipengaruhi dengan pola asuh, kebiasaan dan budaya dari keluarga asalnya. Berikut ini sudut pandang Yanti selama kami PDKT hingga berdoa pribadi.

Melihat Kris dari kejauhan di stasiun Bogor, aku merasa pangling. Dia nampak lebih tinggi dari terakhir kali aku melihatnya. Entah karena potongan rambut dan kumisnya yang rapi. Aku melihat ada aura yang berbeda. Meski begitu, aku bersikap wajar. (Cewek bisa berpura-pura nggak tahu kok, hehe)

"Halo bro, apa kabar?" Aku sengaja memanggilnya "bro" agar Kris tidak canggung. Dia pun membahas sekenanya. Nampaknya grogi. Beranjak dari stasiun, kami mampir sarapan di sebuah warung soto. Ternyata aku butuh waktu lebih lama buat ngoceh demi menjawab rasa ingin tahu Kris, dibandingkan kecepatannya memindahkan isi mangkok ke perutnya.

Selesai sarapan, Kris numpang mandi di rumah kontrakan. Lalu seharian aku mengantarnya muter-muter ke Kebun Raya Bogor (KRB). Di KRB Kris mengajak berfoto di beberapa tempat. Sorenya, saat kembali ke rumah kontrakan hujan turun sangat deras. Aku harus mengurus kolam ikan, memastikan tidak ada saluran tersumbat yang bisa menyebabkan banjir dan ikan lepas dari kolam. Sedangkan Kris menunggu di teras.

Tak lama kemudian, kami kembali mengobrol di teras. Kapan dia ngomongnya nih?, kataku dalam hati. Aku menangkap ada maksud tersembunyi dari Kris. Aku sudah harap-harap cemas. Menjelang pamit, Kris pun bersuara. Karena bajuku basah, Kris memintaku ganti dengan yang kering. Dia mencoba mengulur waktu. Tapi aku merasa diperhatikan.

Selesai berganti baju, saat mengucir rambut, tiba-tiba Kris kembali bicara. "Yan, duduk dulu, ada yang mau aku omongin. Penting." Akhirnya dia bicara, sesuai dugaanku. Menurut pengakuannya, Kris sudah mendoakanku hampir setahun. Sampai dia selesai bicara, aku berusaha bersikap normal, tidak ingin menunjukkan reaksi berlebihan.

Hingga aku mengantarnya ke stasiun, dalam lubuk hati aku merasa ada yang memberi perhatian padaku. Tapi logikaku melawan dengan menganggapnya biasa saja. Mungkinkah aku yang tidak peka atau bebal? Setelah berpisah di stasiun dan kembali ke rumah suasana hatiku, jujur saja, bahagia! Sebenarnya gejolak macam apa yang aku alami?

Perlu tiga hari aku bergumul, apakah akan mendoakan Kris secara pribadi atau tidak. Dari sepengenalanku pada Kris, ada beberapa hal dalam dirinya yang masuk dalam kriteria pasangan hidupku. Poin plus buatnya, karena berani datang jauh-jauh dari Surabaya ke Bogor.

Belakangan aku baru tahu kalau tiket keretanya PP kelas eksekutif. Keberaniannya mengungkapkan perjalanan doa pribadi dan perasaannya di depanku aku anggap wujud kerendahan hati. Kalau Kris orang yang gengsian, pasti enggan datang.

Saat itu aku dalam kondisi tidak punya apa-apa, bahkan bisa dibilang tidak jelas. Di Bogor ngapain, untuk tujuan apa? Sata itu Kris menguatkanku, "Kamu di Bogor untuk satu tujuan yang jelas kok, Yan." Betapa lega hatiku. Ternyata dia mendukung apa yang aku kerjakan di sini, walaupun mungkin saat itu Kris belum sepenuhnya paham.

Aku mengimani bahwa Tuhan yang membawa Kris ke Bogor. Kurang dari sebulan sejak kedatangannya, Tuhan menjawab doaku. Kerinduan untuk memiliki pasangan hidup yang menerima dan mendukung apa yang aku kerjakan, dalam suka maupun duka. Dan orang pertama yang Tuhan kirimkan adalah Kris. Dialah jawaban dari doa dan penantianku. Suatu anugerah Indah dari Tuhan.

Kenapa aku mau mendoakan Kris? Karena Kris dapat melihat dan mendukung panggilan yang Tuhan taruh dalam hidupku. Menerimaku bahkan saat aku tidak memiliki siapa pun kecuali Tuhan tempatku mengadu. Saat dia datang menyatakan isi hatinya, sungguh aku merasakan bahwa dia adalah utusan Tuhan yang akan menjadi temanku seumur hidup.

Selain itu, Kris mau mendukungku saat mama di kampung sakit. Tak hanya dukungan moril, Kris bahkan mentransfer sejumlah uang untuk berobat mama. Katanya, uangnya boleh dikembalikan saat aku sudah punya. Ini makin membukakanku bahwa Kris adalah pribadi yang peduli.

Yanti pun tiba di hari ke-80 dalam masa doa pribadinya. Hampir tiga bulan. Meski kurang dua puluh hari dari yang seharusnya, Yanti sudah mendapat beberapa konfirmasi dan hendak memberi jawab pada Kris. Bagaimana cara Yanti memberitahu hasil doanya? Melalui telepon, video call atau cukup pesan chat?

Jika Yanti menjawab "Ya", kami akan melanjutkan pada doa bersama. Jika "Tidak" berarti inilah akhir cerita. Selesai. The end. Tamat. Kris tentu saja dag-dig-dug, menebak-nebak apa jawaban Yanti. Harapannya doi menjawab "Ya". Perjalanan ini masih akan panjang, menantang dan mendebarkan. [RN]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun