Mohon tunggu...
Kris Wantoro Sumbayak
Kris Wantoro Sumbayak Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

PR Tidak Harus Dihapuskan Jika...

1 November 2022   23:45 Diperbarui: 2 November 2022   13:30 588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak menggerjakan pr| Dok Tanoto Foundation via Kompas.com

Diberi PR, siswa kasihan karena kebanyakan tugas. Tidak diberi PR, siswa hanya bermain gawai di rumah, lupa materi yang diajarkan di sekolah.

***

Pemkot Surabaya menghapus PR (Pekerjaan Rumah) bagi murid SD dan SMP, berlaku mulai 10 November 2022, bertepatan dengan Hari Pahlawan. Kebijakan pemda ini menimbulkan pro-kontra. 

Bagi murid, jelas setuju karena bebannya berkurang. Namun, bagi orangtua bisa jadi kontra karena khawatir kalau anaknya hanya memainkan gawai di luar jam sekolah.

Mendikbudristek Nadiem Makarim menyambut baik wacana penghapusan PR ini. Namun sekolah tidak perlu memberi pekerjaan rumah yang banyak. Sebab bisa membebani murid, apalagi murid SD.

Lanjut Nadiem, sekolah harus bisa menyesuaikan bakat dan minat masing-masing siswa. PR yang diberikan pada siswa harus ringan, misalnya untuk meningkatkan kapasitas membaca. (Tapi apa jadinya kalau gurunya pun malas membaca...?)

Ilustrasi siswa mengerjakan PR | foto: SHUTTERSTOCK via parents.com
Ilustrasi siswa mengerjakan PR | foto: SHUTTERSTOCK via parents.com

Wacana penghapusan PR dikembalikan pada masing-masing Pemda. Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi mengungkapkan, alokasi waktu untuk mengerjakan PR akan diganti dengan dua jam pelajaran untuk pendalaman karakter siswa. Misalnya pembelajaran selesai pukul 12.00 WIB, dilanjutkan pendalaman karakter hingga pukul 14.00 WIB.

Nah kalau begini cukup fair, jadi tidak ada pelepasan tanggung jawab dari pihak sekolah. Pendalaman karakter ini, dijabarkan Dispendik Kota Surabaya Yusuf Masruh, berwujud pembelajaran melalui pengembangan bakat masing-masing seperti melukis, menari, mengaji dan lainnya.

Eri menambahkan, meski ada PR tapi jangan terlalu berat dan banyak. Yang lebih penting adalah pertumbuhan karakter para murid. Penyelesaian PR siswa di jenjang SD dan SMP juga dapat dilakukan di kelas. Agar fresh katanya, saat anak-anak pulang tidak ada beban lagi. Kalau dikerjakan di sekolah namanya jadi PS dong ya (Pekerjaan Sekolah).

Menurut Yusuf, pola pembelajaran pendalaman karakter ini akan melatih siswa untuk lebih aktif, mandiri dan berani mengungkapkan pendapat untuk menciptakan desain atau rencana pengembangan pengetahuannya. Sebagai seorang guru dan orang tua, bagiku PR berguna bagi siswa jika:

1) Bertujuan untuk pengayaan

Keponakanku kelas 7 SMP, tinggal di desa. Sekolahnya juga masih di daerah kampung, tetangga desa. Seringkali keponakanku bertanya padaku minta diajari mengerjakan PR, biasanya mapel Matematika, Bahasa Indonesia-Jawa-Inggris hingga Prakarya.

Kalau aku pas ke desa (satu desa dengan tempat kelahiranku), aku bisa mengajari langsung. Tapi jika tidak sempat, aku mengajari via chat atau video call. Masalahnya, sering kali keponakan ini menanyakan sesuatu yang sangat umum, Google tahu jawabannya.

Berkali-kali aku menyarankan agar mencari tahu di Google, baru bertanya jika masih tidak mengerti. Dia punya handphone dan paket data serta jaringan yang stabil. Bukan apa-apa, aku kan tidak menghapal semua materi. Tugas yang diberikan gurunya juga model hapalan. Sering kali, materi belum diajarkan tapi sudah diberikan PR. Nah loh...

Jika model PR-nya semacam ini ya sebaiknya dihapuskan saja. Atau gurunya ditegur supaya mengajar yang benar. Materi belum diajarkan kok sudah diberi PR. Lalu tugas guru apa?

Sejak sekitar tiga tahun lalu di Salatiga juga diterapkan kebijakan "Tidak boleh memberi PR", karena terkesan membebani murid, apalagi untuk sekolah yang full day (5 hari/minggu). Meski begitu, murid harus diberi tanggung jawab dalam mengulas materi.

Istilah yang dipakai di sekolahku adalah daily task (tugas harian). Tugas ini bisa dikerjakan di kelas saat pelajaran, bisa juga di rumah namun dengan tempo pengerjaan 2-3 hari. Tugas yang diberikan juga tidak asal. Melainkan penalaran dari materi yang sudah dipelajari.

Tugas yang dikerjakan di rumah memberi kesempatan bagi siswa berinteraksi dengan orang tua atau masyarakat, misalnya tugas wawancara kegiatan ekonomi. Tugas ini tidak berat karena guru memberi petunjuk jelas dan rubrik penilaian. Bukan asal diberi dan pokoknya harus dikerjakan.

2) Diberikan dalam porsi wajar

PR (di sekolahku: daily task) juga harus diberikan dalam porsi wajar, jangan sampai membuat siswa stres. Jika dikerjakan di sekolah, harus bisa sekali kerja selesai. Jika porsinya agak berat, diberi tempo beberapa hari dan berkelompok sehingga bisa bergotong royong.

Contoh PR yang tidak wajar dialami keponakanku. Suatu hari tetiba dia mengirim chat supaya dicarikan atur-atur Pramuka dan OSIS (Bahasa Jawa). Wah, makanan apa ini? Ternyata, si murid diminta menulis surat undangan kegiatan Pramuka dan OSIS dalam Bahasa Jawa.

Tugasnya harus diketik di komputer, sedangkan keponakanku laptop pun tidak punya. (Iyes, tidak semua siswa punya laptop meski sudah zaman digital). Meski banyak contoh di Google, dia tidak punya inisiatif mencari, takut kalau salah. Tipe murid seperti ini tidak punya daya nalar yang cukup.

Aku ogah mengerjakan tugas keponakanku, kan dia yang dapat tugas. Aku mencarikan contoh suratnya, dia terjemahkan pakai Google translate (atas saranku), lalu aku bantu perbaiki teksnya. Syukurnya keponakanku ini punya om yang bisa komputer.

3) Bukan untuk menutupi tanggung jawab guru

PR juga tidak boleh diberikan untuk menutupi tanggung jawab guru. Guru bertanggung jawab mengajar, menyampaikan materi kepada murid supaya paham. Kalau guru belum menjelaskan sudah memberi PR, PR-nya tidak dibahas lagi, itu jelas tidak bertanggung jawab.

Harus diakui, pengajaran dan pemberian PR oleh guru dipengaruhi kompetensi guru, sumber daya yang ada serta kearifan lokal setiap sekolah (satuan pendidikan). Guru yang bertanggung jawab harusnya menjelaskan, memberi contoh/latihan soal, membuka ruang diskusi di kelas, baru PR diberikan sebagai pengayaan dan mengasah daya nalar.

Kalau Anda, setuju kalau PR dihapuskan? --KRAISWAN 

Referensi: 1, 2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun