Contoh PR yang tidak wajar dialami keponakanku. Suatu hari tetiba dia mengirim chat supaya dicarikan atur-atur Pramuka dan OSIS (Bahasa Jawa). Wah, makanan apa ini? Ternyata, si murid diminta menulis surat undangan kegiatan Pramuka dan OSIS dalam Bahasa Jawa.
Tugasnya harus diketik di komputer, sedangkan keponakanku laptop pun tidak punya. (Iyes, tidak semua siswa punya laptop meski sudah zaman digital). Meski banyak contoh di Google, dia tidak punya inisiatif mencari, takut kalau salah. Tipe murid seperti ini tidak punya daya nalar yang cukup.
Aku ogah mengerjakan tugas keponakanku, kan dia yang dapat tugas. Aku mencarikan contoh suratnya, dia terjemahkan pakai Google translate (atas saranku), lalu aku bantu perbaiki teksnya. Syukurnya keponakanku ini punya om yang bisa komputer.
3) Bukan untuk menutupi tanggung jawab guru
PR juga tidak boleh diberikan untuk menutupi tanggung jawab guru. Guru bertanggung jawab mengajar, menyampaikan materi kepada murid supaya paham. Kalau guru belum menjelaskan sudah memberi PR, PR-nya tidak dibahas lagi, itu jelas tidak bertanggung jawab.
Harus diakui, pengajaran dan pemberian PR oleh guru dipengaruhi kompetensi guru, sumber daya yang ada serta kearifan lokal setiap sekolah (satuan pendidikan). Guru yang bertanggung jawab harusnya menjelaskan, memberi contoh/latihan soal, membuka ruang diskusi di kelas, baru PR diberikan sebagai pengayaan dan mengasah daya nalar.
Kalau Anda, setuju kalau PR dihapuskan? --KRAISWANÂ