Yang sanggup bertahan bukanlah yang paling kuat, melainkan yang paling adaptif
Aku menyukai kutipan di atas. Konon, dinosaurus (kalau memang benar pernah hidup di bumi) hewan raksasa terkuat justru tidak sanggup bertahan hidup dari hujan meteor jutaan tahun lalu.
Kuncinya bukan seberapa kuat, tapi seberapa mampu beradaptasi (adaptif).
Proses Belajar Mengajar di era pandemi Covid-19 juga memerlukan kemampuan adaptif. Situasi tak terduga, perubahan yang mendadak dan frekuensinya tinggi, ancaman pada kesehatan fisik, kesehatan mental, perekonomian dan di banyak bidang lain; semuanya memerlukan keterampilan adaptif.
Baru dua minggu dilakukan PBM tatap muka penuh, baru menikmati ritme yang baru, tetiba murid-murid di sekolahku harus kembali belajar online sebab ada anak yang positif Covid-19. Ibaratnya, kembali 'dikekang' pas lagi senang-senangnya belajar tatap muka.
Kembali belajar tatap muka, suatu kebahagiaan bagi murid
Hampir semua murid, pasti senang bisa kembali ke sekolah. Materi pelajaran bisa menjadi urutan ke sekian. Bertemu, bermain, mengobrol bersama teman dan guru.
Berlarian di lorong dan playground, menjajaki anak tangga, menginterupsi guru yang mengajar untuk ke toilet atau mengisi botol minum, atau bahkan sekedar untuk minum. Menyenangkan!
Para murid suka berkumpul dengan teman-temannya. Namanya juga makhluk sosial. Kembali belajar tatap muka jadi kebahagiaan tersendiri bagi murid. Kegiatannya lebih beragam dan leluasa berinteraksi langsung. Bisa menikmati makan siang bersama. Dan tentu saja, momen bel berdering saat pergantian pelajaran, istirahat atau jam pulang adalah yang paling dinanti. Ini baru sekolah!
Tetap menerapkan prokes
Sebelum dimulai tahun ajaran baru 2022/2023, kami sudah menyampaikan pada orang tua bahwa pembelajaran tatap muka secara penuh (dari pagi sampai sore) harus tetap menerapkan protokol kesehatan. Kasus Covid-19 mulai terkendali, namun pandemi belum berakhir. Semua kemungkinan dapat terjadi.
Untuk meminimalkan risiko, kami tetap menerapkan protokol kesehatan. Mengecek suhu saat tiba di sekolah, mencuci tangan, memakai masker. Jika ada anak yang flu atau batuk, guru akan menindaklanjuti, apakah gejala tersebut disebabkan alergi, dingin ruangan ber-AC, atau memang sakit.
Beberapa anak memang alergi, sensitif terhadap suhu dingin, debu dan panas. Maka, orang tua diminta memberi surat keterangan dari dokter. Supaya jelas jika memang alergi biasa.
Konfirmasi Covid-19 pertama pada pembelajaran tatap muka
Satu hari, salah satu rekan guru heboh. Salah satu orang tua anak lesnya dikabarkan positif Covid-19. Murid ini sudah diswab dan hasilnya negatif. Beberapa hari lalu rekan ini berinteraksi dengan si murid. Sebab sudah didapat hasil negatif, temanku ini enggan diswab. Sakit rasanya (hidung disodok, pen).
Namun, sesuai SOP, temanku mau diswab juga. Sekolah punya alat swab mandiri. Temanku diswab, dibantu seorang rekan. Hasilnya reaktif. Untuk lebih pasti, dia diminta tes di laboratorium. Aku pribadi yakin, tanda positif pada alat tes swab tidak semencekam sebelumnya. Namun tidak boleh menyepelekan.
Keesokan harinya aku menanyakan kabar teman itu. Dia sudah melakukan tes PCR di lab, hasilnya positif. Otomatis harus isolasi di rumah, sedang pembelajaran tatap muka tetap berjalan.
Aku dan teman yang kontak dengan guru ini harus swab. Kami mengundang nakes ke sekolah. Apakah aku takut? Tidak. Cemas? Sedikit. Aku tidak takut kondisi tubuh jika terpapar. Tapi cemas jika harus isolasi, akan membebani guru lain yang akan menggantikanku. Beban moral.
Sekitar 11 orang melakukan swab. Tak lama, hasilnya keluar. Semua negatif, puji Tuhan. Justru ada salah satu murid kelas 5 yang positif. (Kronologinya bagaimana, tidak diceritakan di sini.) Otomatis, mulai esok kelas 5 melakukan pembelajaran daring seminggu ke depan.
Tadi malam salah satu muridku kelas 6 mengirim pesan WA, kedua orang tuanya positif Covid-19. Maka, kelas 6 juga belajar online. Pagi ini sekitar jam 9, datang lagi info anak kelas 1 terpapar Covid-19. Maka semua PBM dilakukan secara online seminggu ke depan.
Hal ini sesuai SKB 4 menteri terkait pelaksanaan pembelajaran di era pandemi. "Lama waktu penghentian pembelajaran tatap muka di satuan pendidikan: a) paling sedikit 7 (tujuh) hari bagi rombongan belajar yang terdapat klaster penularan Covid-19, b) paling sedikit 5 (lima) hari bagi rombongan belajar yang bukan klaster penularan Covid-19."
Ganti jadwal, ganti metode belajar
Risiko disadari bersama sejak awal. Meskipun tidak ada yang suka dengan perubahan mendadak ini. Penuh dengan ketidakpastian.
Ada orang tua yang khawatir tentang kesehatan anaknya, apalagi jika imunnya lemah. Begitu tahu ada kasus penularan, orang tua panik. Siapa anak yang tertular, apakah kontak dengan anaknya, dan seterusnya.
Selain orang tua, pihak sekolah, khususnya wakakur juga kelimpungan membuat formasi jadwal. Sebagian onsite, lainnya online. Dua kombinasi ini membutuhkan kejelian dan hikmat supaya jadwalnya tidak bertubrukan.
Perubahan mendadak, harus bagaimana?
Adaptif, itu kuncinya. Dua tahun pandemi hendaknya menambahkan keterampilan hidup kita untuk diterapkan di banyak bidang, termasuk pendidikan.
Dengan mempertimbangkan banyak aspek, jika kasus penularan minim, PBM diberlakukan tatap muka. Jika ada yang tertular, tatap muka dihentikan sementara. Kita harus terbiasa dengan dua model, online dan onsite.
Untuk menjamin pembelajaran (online maupun onsite) butuh kerja sama dari semua pihak. Pemerintah pusat, pemda, pengurus sekolah, orang tua serta seluruh masyarakat. Kelak, saat sudah ditemukan vaksin universal untuk bermacam virus semoga pandemi Covid-19 bisa segera berakhir. Tetap jaga kesehatan, semoga semua dalam lindungan Tuhan. --KRAISWAN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H