"Pacaranlah hanya jika kamu sudah siap untuk menikah"
***
Apa alasan utama orang berpacaran? Supaya tidak sendirian? Ikutan teman? Supaya ada penyemangat? Supaya dianggap laku? Alasan itu dan yang serupa dengan itu adalah pemikiran dangkal.
Usia minimal untuk berpacaran adalah tujuh belas tahun. Usia ini dianggap sudah dewasa, ditandai dengan memiliki fisik dan pemikiran yang matang, bijaksana mengambil keputusan serta berani menanggung risikonya.
Jika berpacaran sebelum tujuh belas tahun, mau melakukan apa? Cuma buat bersenang-senang dan gaya-gayaan? Iya kalau melakukan hal wajar, kalau sampai kebablasan siapa yang rugi?
Pacaran berasal dari kata "pacar" yang berarti teman lawan jenis yg tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih; kekasih (KBBI). Lawan jenis lho ya, bukan sesama jenis. Bahayanya, jika cinta kasih ini dilakukan oleh pribadi yang belum dewasa bakal melanggar norma dan aturan agama dan yang berlaku di masyarakat.
Indonesia bukan negara liberal seperti halnya negara-negara Barat. Hubungan fisik hanya boleh dilakukan suami istri yang sah. Jika melakukan hubungan sebelum menikah, namanya kumpul kebo (berzinah). Tak heran, di negara Barat banyak terjadi kasus aborsi, tinggal bersama meski masih berpacaran, atau anak tanpa figur ayah (fatherless).
Akibatnya, banyak anak muda yang melakukan tindak kriminal, seperti penembakan di ruang publik yang terjadi akhir-akhir ini. Kita tentu tidak menginginkan hal ini terjadi pada keluarga kita.
Itu sebabnya, berpacaran tidak bisa dilakukan sembarangan, apalagi main-main. Aku dan istri berprinsip (kami pelajari selama bermahasiswa), pacaran hanya dilakukan untuk persiapan menikah. Masa iya baru SMP sudah mau menikah? Kalau untuk mengembangkan relasi, tidak harus berpacaran.
Aku tidak mengklaim aku dan istri sudah menjalani masa pacaran paling sempurna. Tapi, setidaknya kami mengusahakan pacaran yang berkualitas. Sifatnya bersifat larangan ("jangan"), supaya tegas, tidak dilakukan selama pacaran. Berikut ini 3 tipsnya.
1) Jangan berpacaran dengan yang tidak seiman
Indonesia memiliki keberagaman dalam beragama. Hal ini kekayaan yang harus kita jaga bersama. Bukan untuk dibenturkan, dicampuradukkan atau dibiaskan. Aku menghormati keyakinan orang lain yang berbeda denganku. Oleh sebab itu, aku memilih pacar (berikutnya pasangan hidup) yang seiman.
Masih pacaran, kan tidak apa-apa kalau tidak seiman? Baru pacaran saja berani kompromi, saat menikah akan lebih tidak berprinsip. Kan banyak yang menikah beda agama dan hidupnya baik-baik saja? Bisa jadi, tapi aku tidak yakin pernikahannya akan bertumbuh.
Bagaimana mau bertumbuh, kalau ibadah saja sendiri-sendiri. Yang seiman saja tidak menjamin bertumbuh. Lebih jauh, pastikan pacar yang kita pilih adalah orang yang sungguh-sungguh mengamalkan imannya.
2) Jangan melakukan hubungan intim
Bagaimana menyatakan kasih selama berpacaran? Mentraktir makan? Mengantar-jemput tiap bepergian? Membelikan hadiah? Bergandengan tangan? Menyentuh pipi? Berciuman?
Sadar woi, sadar! Ini bukan pilem, tapi kehidupan nyata. Kebanyakan adegan dalam film menampilkan sesuatu yang tidak pantas, fantasi belaka.
Jika komunikasi fisik dilakukan sebelum pernikahan, pengenalan karakter akan mati
Entah bagaimana dengan pasangan lain. Tapi aku dan pacarku tidak pernah bertindak kejauhan selama berpacaran. Paling mentok berdekatan saat foto bersama. Aku berani memegang tangan doi juga saat foto prewed.
Otak dan pikiran laki-laki cenderung mudah terangsang dibanding perempuan. Dan, biasanya laki-laki tidak pernah puas. Sekali mendapat kesempatan memegang tangan, akan minta memegang pipi, lalu bagian tubuh yang lain, lalu mencium, dan lebih jauh...
Jangan melakukan hubungan intim/ badan sebelum menikah. Pertama, itu melanggar kekudusan pernikahan (berzinah). Kedua, melanggar norma agama dan masyarakat. Tiga, konsekuensi hubungan intim paling banyak ditanggung oleh perempuan (misal sampai hamil).
Masih mending jika si laki-laki mau bertanggung jawab. Meski tidak menghapuskan konsekuensi dosa. Kalau sampai si lelaki tetiba hilang ditelan bumi...?
Ada pendapat, "Kalau kamu sayang padaku buktikan dengan memberikan tubuhmu". Jangan sesat. Kalau pasanganmu mengasihimu, dia akan melindungi dan menghormatimu, bukan menodai kesucianmu.
3) Jangan menggabung tabungan
Tips ketiga, tentang keuangan. Jika yang pacaran sudah dewasa, akan memikirkan biaya pernikahan. (Beda cerita dengan yang dibiayai orang tua) Untuk membiayai pernikahan, disarankan menabung. Berapa kisaran biaya, berapa jumlah yang bisa disisihkan tiap bulan. Tabungan sebaiknya tidak digabung.
Bahkan tidak disarankan selalu mentraktir pacar saat makan. Sesekali boleh. Kok pelit? Kan masih pacaran, doi belum menjadi tanggungan kita. Minimal, bergantian mentraktir.
Bukankah lebih jelas jika digabung? Harus diantisipasi jika terjadi perubahan rencana. Ada lho, yang sudah menyiapkan pernikahan jauh hari, sampai membeli rumah berdua, H-1 batal menikah. Hayo, bagaimana mau membagi rumahnya, dibelah dua?
Menyimpan tabungan masing-masing akan melatih pengendalian diri dan tanggung jawab. Jika sudah sama-sama dewasa dan satu pikiran, pasti saling terbuka. Jika sudah dekat hari H, barulah disatukan untuk DP segala hal pendukung pernikahan.
Penutup
Tiga tips di atas sekedar saran. Boleh diikuti, tidak pun juga tidak masalah. Anda yang menanggung risikonya. Dari pengalamanku, jika bisa menaati prinsip dasar di atas, bisa menjalani pacaran yang berkualitas. Hari-hari yang ada bisa difokuskan untuk mempersiapkan pernikahan yang juga berkualitas. --KRAISWANÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H