Mohon tunggu...
Kris Wantoro Sumbayak
Kris Wantoro Sumbayak Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Beda Adat, Siapa Takut? #6

11 Juni 2022   20:05 Diperbarui: 11 Juni 2022   20:37 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menjadi mahasiswa | foto: shutterstock via kumparan.com

Aku pernah ikut persekutuan saat SMP, tapi tidak berlanjut saat SMA. Hari-hariku disibukkan dengan bermacam kegiatan sekolah dan belajar. Memasuki kehidupan kampus, Tuhan punya cara mengembalikanku pada jalur yang tepat.

Di masa SMA hingga menjelang Ujian Nasional, aku sedih sebab bapak-mama sering berantem. Biasalah, urusan orang tua. Hal-hal sepele pun bisa jadi masalah dan sumber pertengkaran. Bagaimana bisa fokus belajar untuk ujian, sedang bapak-mama berantem?

Aku mengalami banyak kekecewaan atas sikap bapak kepada mama. Sering kali, sikapnya tidak menunjukkan kasih sebagaimana layaknya suami-istri. Waktu itu aku berdoa, jika Tuhan izinkan semoga bapak-mama berdamai sebelum aku ujian. Jika tidak, aku takkan fokus belajar.

Puji Tuhan, Dia menjawab doaku. Bapak-mama berdamai, sehingga aku bisa fokus mempersiapkan ujian. (Perdamaian mereka cuma sementara. Ke depan, masih banyak pertengkaran bapak-mama, berulang.) Singkat cerita, aku berhasil melalui Ujian Nasional. Puji Tuhan, lulus.

Setelah Ujian Nasional SMA, aku bergumul langkah apa yang diambil berikutnya? Yang jelas tidak menikah ya, hehe. Aku punya impian, dan untuk meraihnya harus belajar di jenjang yang lebih tinggi. Membuka wawasan dan mengembangkan diri.

Sebab tidak punya gambaran tentang pilihan kampus, aku berencana akan kuliah di Medan saja. Setidaknya masih bisa pulang sesekali dan bertemu bapak-mama. Ada juga tulang (saudaranya mama) tinggal di Medan, bisa menumpang di sana.

Namun, temanku mengajakku untuk mendaftar ke salah satu kampus di Jawa. Hah? Kampus di Jawa, jauh sekali...? Memangnya bisa lulus?

Dengan modal iman, ditambah desakan temanku aku mendaftar juga. Aku mengisi dua pilihan jurusan, yaitu Fakultas Kesehatan Masyarakat dan Kimia. Aku sudah berusaha semampuku, berikutnya Tuhan yang menilai. Dan... aku lulus! Wah, aku sampai tak menyangka bakal bisa kuliah di Jawa.

Satu sisi aku senang dan bersyukur, bisa melihat kehidupan di luar daerah. Di sisi lain juga sedih, harus meninggalkan bapak-mama. Mereka juga harus memberi dukungan dana yang tidak sedikit. Meski begitu, mereka ikhlas melepasku, demi aku bisa meraih kehidupan yang lebih baik.

Tuhan "mendamparkanku" di Semarang, tepatnya Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Diponegoro. Banyak yang memplesetkan sebagai Fakultas Kecantikan dan Modelling. Soalnya, mayoritas penghuninya perempuan. Di fakultas ini aku bergabung dalam kelompok kecil yang dalam perjalanannya berhasil membentuk karakterku makin matang.

Ini merupakan proses yang panjang. Meski sudah di dunia kampus, aku masih terbayang kehidupan masa lalu. Dulunya, Yanti tipe cewek tomboy. Teman-temanku mayoritas cowok, tidak suka dandan, mainnya suka panas-panasan lagi. Sikapku itu menjadi salah satu bukti, meski perempuan aku bisa melakukan apa yang anak-anak cowok lakukan. Memanjat pohon jambu, perosotan di tiang listrik dan membuat mainan sendiri misalnya egrang.

Saat kuliah, aku menjadi mahasiswi polos, tahunya kuliah, pulang ke kos, persekutuan, pelayanan, ibadah ke gereja, sesekali muncak (hiking). Itulah rutinitas yang aku jalani. Sesekali terbersit ingin punya pacar, tapi tak mau terlalu ambil pusing. Jalani saja dulu. Yanti meyakini akan datang waktu yang tepat bertemu orang yang juga tepat sebagai Pasangan Hidup.

Bersyukur, aku ditolong untuk mengalami hidup baru. Perlahan namun pasti, hatiku dipulihkan dan hidup dengan prinsip-prinsip kebenaran firman Tuhan. Antara tahun 2010-2011 di dalam kelompok kecil (KTB) kami diajari membuat evaluasi dan resolusi. Salah satu poin pentingnya adalah membuat kriteria Pasangan Hidup.

Baca juga: Beda Adat, Siapa Takut? #5

Jika memilih pakaian saja kita punya standar, masa untuk pasangan (seumur) hidup tidak...? Aku dan saudara-saudara KTBku mengimani, kelak akan bertemu sosok yang paling tepat. Saat itu aku tak punya gambaran sama sekali tentang pasangan. Siapa orangnya, di mana akan bertemu, bagaimana caranya.... Namun,

itulah iman. Percaya, meski belum melihat.

Tidak terasa, empat tahun bermahasiswa telah berlalu. Tiba-tiba sudah harus sidang skripsi. Bagian ini adalah tahapan tersulit bagiku saat itu. Masa-masa yang membutuhkan banyak dukungan semangat. Bersyukur aku bisa melewati dengan baik, sekalipun tanpa sosok pacar. Saat wisuda aku didampingi bapak-mama dan adik perempuan. Tidak ada perasaan iri melihat teman yang sudah berpacaran.

Meski masih melajang, aku memiliki proyek rohani. Aku membuat komitmen untuk mendukung teman-teman yang masih berjuang mengerjakan skripsi. Setidaknya menanyakan progres, memberi semangat, membantu melakukan penelitian, dan---yang pasti---mendukung dalam doa. Nama-nama mereka kutulis dalam buku doa.

Aku juga punya waktu berdoa rutin tiap Sabtu malam. Aku mendoakan kriteria Pasangan Hidup yang aku buat dan juga mendoakan karakterku agar terus dipulihkan di masa penantian ini.

Beberapa teman yang aku doakan bahkan dari luar UNDIP dan tak pernah kukenal sebelumnya. Dan siapa sangka, salah satu orang yang aku doakan kelak akan menjadi pacarku. Bagaimana bisa...? (RN)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun