Ini merupakan proses yang panjang. Meski sudah di dunia kampus, aku masih terbayang kehidupan masa lalu. Dulunya, Yanti tipe cewek tomboy. Teman-temanku mayoritas cowok, tidak suka dandan, mainnya suka panas-panasan lagi. Sikapku itu menjadi salah satu bukti, meski perempuan aku bisa melakukan apa yang anak-anak cowok lakukan. Memanjat pohon jambu, perosotan di tiang listrik dan membuat mainan sendiri misalnya egrang.
Saat kuliah, aku menjadi mahasiswi polos, tahunya kuliah, pulang ke kos, persekutuan, pelayanan, ibadah ke gereja, sesekali muncak (hiking). Itulah rutinitas yang aku jalani. Sesekali terbersit ingin punya pacar, tapi tak mau terlalu ambil pusing. Jalani saja dulu. Yanti meyakini akan datang waktu yang tepat bertemu orang yang juga tepat sebagai Pasangan Hidup.
Bersyukur, aku ditolong untuk mengalami hidup baru. Perlahan namun pasti, hatiku dipulihkan dan hidup dengan prinsip-prinsip kebenaran firman Tuhan. Antara tahun 2010-2011 di dalam kelompok kecil (KTB) kami diajari membuat evaluasi dan resolusi. Salah satu poin pentingnya adalah membuat kriteria Pasangan Hidup.
Jika memilih pakaian saja kita punya standar, masa untuk pasangan (seumur) hidup tidak...? Aku dan saudara-saudara KTBku mengimani, kelak akan bertemu sosok yang paling tepat. Saat itu aku tak punya gambaran sama sekali tentang pasangan. Siapa orangnya, di mana akan bertemu, bagaimana caranya.... Namun,
itulah iman. Percaya, meski belum melihat.
Tidak terasa, empat tahun bermahasiswa telah berlalu. Tiba-tiba sudah harus sidang skripsi. Bagian ini adalah tahapan tersulit bagiku saat itu. Masa-masa yang membutuhkan banyak dukungan semangat. Bersyukur aku bisa melewati dengan baik, sekalipun tanpa sosok pacar. Saat wisuda aku didampingi bapak-mama dan adik perempuan. Tidak ada perasaan iri melihat teman yang sudah berpacaran.
Meski masih melajang, aku memiliki proyek rohani. Aku membuat komitmen untuk mendukung teman-teman yang masih berjuang mengerjakan skripsi. Setidaknya menanyakan progres, memberi semangat, membantu melakukan penelitian, dan---yang pasti---mendukung dalam doa. Nama-nama mereka kutulis dalam buku doa.
Aku juga punya waktu berdoa rutin tiap Sabtu malam. Aku mendoakan kriteria Pasangan Hidup yang aku buat dan juga mendoakan karakterku agar terus dipulihkan di masa penantian ini.
Beberapa teman yang aku doakan bahkan dari luar UNDIP dan tak pernah kukenal sebelumnya. Dan siapa sangka, salah satu orang yang aku doakan kelak akan menjadi pacarku. Bagaimana bisa...? (RN)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H