Mohon tunggu...
Kris Wantoro Sumbayak
Kris Wantoro Sumbayak Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Waspada Kebiasaan Menimbun Barang dan 3 Tips Mengatasinya

9 Juni 2022   09:42 Diperbarui: 14 Juni 2022   13:16 1686
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gudang, penyimpanan barang di gudang. (sumber: SHUTTERSTOCK/TREKANDSHOOT via kompas.com)

Seorang kakek membawa helm hitam keluar rumah. Kejadian sore hari, tapi sinar matahari masih terang. Kukira helm itu mau dijemur, atau dicuci. 

Ada kran di luar pagar rumahnya. Tiba-tiba, brukk!! Aku bertanya kenapa helmnya dibuang? Nanti bagaimana kalau bepergian? Pertanyaan ini retoris, sebab dua helm terparkir rapi di atas kandang burungnya.

"Saya tuh punya helm banyak. Kalau sudah tidak bagus ya saya buang. Buat apa disimpan? Ndak kayak Mbah Uti, perkakas wadah plastik saja disimpan, padahal sudah banyak toples." Berkebalikan dengan bapak-ibuku. Bapak suka menimbun barang, ibu suka beberes.

Penggalan kisah ini kemungkinan dialami kebanyakan kita. Aku akan menceritakan singkat kesukaan bapakku menimbun barang. Di rumahnya, hampir semua barang bekas tersedia. 

Saking banyaknya, susah mencari barang yang diperlukan. Rumahnya di kampung cukup luas, namun barang-barang terus ditimbun, jadi sempit juga.

Potongan papan, balok, bambu, besi bekas, beragam tali, sekrup, paku, botol kaca, botol plastik hingga kertas bekas bungkus rokok (biasanya untuk mencatat nomor HP temannya). 

Dampak hobinya ini, semua sudut rumahnya menjadi gudang pribadi. Mengusik pemilik mata lain. Tidak nyaman untuk menerima tamu. Namun tidak demikian bagi bapak.

Waspada kebiasaan menimbun barang bekas | foto: alodokter.com
Waspada kebiasaan menimbun barang bekas | foto: alodokter.com

Kebiasaan menimbun barang dikenal dengan hoarding disorder. Yakni perilaku menimbun barang yang tidak berharga.

Alasannya, menganggap benda tersebut akan berguna suatu hari, mengingatkan pada suatu peristiwa atau merasa aman dikelilingi barang-barang tersebut. Mayoritas hoarder tidak menyadari gangguan psikis ini.

Aku baru tahu, gejala hoarding disorder dialami oleh bapakku. Gejalanya yaitu:

- sulit membuang barang-barang yang tidak diperlukan
- sulit dalam mengambil keputusan*
- mencari benda lain dari luar rumah agar bisa ditimbun
- merasa cemas atau tertekan saat benda miliknya disentuh orang lain*
- menyimpan barang sampai mengganggu fungsi ruangan
- melarang orang lain membersihkan rumahnya* (tanda bintang sangat dominan di bapak)

Kelainan ini belum diketahui penyebabnya secara pasti. Namun beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko seseorang mengalami kondisi ini yaitu:

- mengalami gangguan mental (depresi, skizofrenia, gangguan obsesif kompulsif)
- dibesarkan dalam keluarga yang tidak mengajari cara memilah barang
- keluarga menderita hoarding disorder
- pernah ditinggalkan orang yang dicintai
- kehilangan harta benda karena bencana

Semoga bapakku tidak mengalami gangguan mental. Dari cerita ibu, kemungkinan besar gejala yang dialami bapak dari faktor eksternal, yakni dari pola asuh keluarga yang tidak optimal.

Di rumah tempat tinggalku, kami pun memiliki banyak barang, padahal rumahnya sempit. Selain perlengkapan bayi (kebanyakan adalah pemberian dan pinjaman), ada barang-barang keperluan produksi minuman herbal milik istri, belum peralatan tukangku dan kardus bekas.

Tingginya kebutuhan difasilitasi dengan belanja online yang banyak promo dan diskon, menyisakan banyak bekas kemasan seperti dus dan bubble wrap. Kampanye reduce, reuse dan recycle untuk bumi yang lebih hijau belum efisien.

Akhirnya, bekas kemasan itu kami simpan, supaya bisa dipakai kembali saat harus mengirim barang ke luar kota. Masalahnya frekuensi belanja daring lebih banyak dibanding mengirim barang. Jadilah kami penimbun barang juga.

Beberapa hari lalu, kami beberes rumah. Didorong oleh anak bayi yang makin aktif merangkak dan merambat, menjelajahi setiap sudut rumah, kami harus menata barang-barang. Susah-susah gampang melakukannya. Mau dibuang sayang (nah, gejala hoarding disorder nih), tak dibuang bikin sesak.

Supaya barang-barang kurang penting tidak memenuhi rumah, berikut tiga tipsnya:

Harus rajin beberes rumah

"Males nih mau beberes..." 'Penyakit' ini tidak ada obatnya, kecuali lawan! Aku mengenal beberapa orang yang kamarnya berantakan. Lebih berantakan dari kapal dicumbu bola meriam. Katanya, orang yang kamarnya berantakan tanda orang cerdas. Tapi, kalau kamar berantakan karena tak mampu mengatur waktu dan aktivitas namanya payah.

Dengan kapasitas saat ini kami harus rajin beberes rumah. Mengeluarkan sampah ke tong di depan rumah, memilah bekas dus, bubble wrap dan plastik yang bisa dipakai kembali dan membuang selebihnya. Biasanya istri yang lebih telaten beberes. Sedang aku mengerjakan bagian yang berat, harus angkat-angkat atau nukang, misalnya. Suami dan istri harus saling melengkapi, heyah...

Jika ada dus yang jumlahnya banyak, bisa dijual pada tukang rongsok. Lumayan untuk tambahan jajan.

Simpan dalam rak

Kebetulan aku suka membuat perkakas, salah satunya rak kayu untuk buku. Melihat barang-barang kami yang berantakan, aku pun membuat rak kayu.

Membuat sendiri rak kayu untuk menyimpan barang-barang | dokumentasi pribadi
Membuat sendiri rak kayu untuk menyimpan barang-barang | dokumentasi pribadi

Bahan kayu lebih murah dan cukup kokoh (meski bukan jangka panjang karena bisa diserang tortor). 

Selain itu mudah diolah dengan peralatan yang sederhana seperti gergaji, tatah, palu dan paku. Dengan rak, barang-barang bisa disusun ke atas, jadi lebih menghemat ruang.

Jangan simpan banyak pada item yang sama

Aku dan istri berniat melawan plastik, meski dampaknya sangat kecil. Kami membawa tas dari rumah tiap belanja. (Paling sulit menolak plastik di pasar tradisional) Meski begitu, tetap ada saja plastik bekas yang menjadi sampah atau ditimbun di rumah.

Apalagi kalau belanja ikan dan daging. Susah kalau tanpa plastik. Istri sudah berniat memakai toples-toples plastik, tapi belum kesampaian juga. Toples plastik ini pasti bisa menekan penggunaan plastik sekali pakai.

Supaya barang tidak tertimbun di rumah, kami menyeleksinya. Item yang sama, hanya satu dua saja yang disimpan. Selebihnya dibuang. Dus dan botol-botol bekas biasa diambil pemulung di kompleks kami tiap pagi. Nah, dengan merelakan beberapa barang malah bisa berbagi rezeki kepada yang lain. --KRAISWAN 

Referensi: 1, 2

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun