Mohon tunggu...
Kris Wantoro Sumbayak
Kris Wantoro Sumbayak Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Baru Menikah Tak Sabar Ingin Momongan, Yakin?

30 Mei 2022   00:51 Diperbarui: 30 Mei 2022   08:01 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi baru menikah, tak sabar pengen momongan | gambar: StockSnap/Pixabay via cnnindonesia.com, alodokter, olah: KRAISWAN

Suatu hari adik angkatan kuliah kami (perempuan) yang baru beberapa bulan menikah bertanya via WA, bagaimana caranya segera dapat momongan. Sudah tidak sabar, katanya. Eh, lha dikira kami juru momongan...?

Begini ya Neng, sama halnya rezeki, jodoh, hidup-mati ada di tangan Tuhan; momongan (anak) pun begitu. Ada yang bertahun-tahun menanti baru dapat. Ada yang memprogramkan beberapa bulan setelah menikah, tapi langsung diberi (seperti kami). Yang mencoba bermacam terapi dan pengobatan, tapi tak kunjung dapat juga ada.

Pertanyaan mendasarnya adalah apakah jika pasangan baru menikah sudah siap punya momongan? Sedangkan yang sudah punya lebih dari satu anak kewalahan dalam mengasuh. Kesiapannya kembali pada masing-masing pasangan.

Jangan dibayangkan punya bayi adalah sesuatu yang mudah dan indah semata. Dikira menyenangkan karena bayi itu lucu dan menggemaskan. Bisa dipamerkan di media sosial. Ada konsekuensi dan tanggung jawab yang mengikuti.

Buat Eneng dan pasangan lain yang baru menikah, izinkan kami membagikan pengalaman punya momongan. Yang jelas tidak mudah. Ada "harga" yang harus dibayar. Awal menjadi orang tua, hal-hal ini yang kami pelajari (khususnya, kami mengasuh sendiri anak kami).

1) Bijak mengelola keuangan

Saat pacaran, gaji yang kita terima menjadi hak pribadi sepenuhnya. Mau dipakai belanja, jajan, atau jalan-jalan; bebas! Begitu menikah, kebutuhannya bertambah untuk istri dan perihal rumah tangga. Apalagi jika istri mengurus rumah tangga, mengandalkan gaji suami. (Ada lho, yang sudah menikah masih minta pada orang tua. Kami sih tidak.)

Jika anggota keluarga bertambah anak, kebutuhan makin bertambah. Biaya kelahiran, perlengkapan baru lahir, beli popok, pakaian, dan tetek-bengek lainnya. Harus bijak mengelola keuangan. Tidak bisa menuruti gaya hidup seperti masih lajang/ pacaran.

Ada adik angkatan yang baru menggelar pesta pernikahan; eh, mau berhutang pada kami. Yo ambyar... Bukan kami tak ingin memberi pinjaman. Masalahnya, yang dipinjamkan tidak ada, hehe... (Diketahui adik ini gemar berhutang sejak masih lajang. Belum punya anak saja sudah hutang, apa nasib anaknya nanti?)

2) Bijak mengelola waktu

Tak hanya keuangan, setelah menikah dan punya anak harus bijak mengelola waktu. Di masa lajang bisa melakukan banyak aktivitas sesuai selera, me time istilahnya. Saat punya anak, apalagi jika diasuh sendiri, kita hampir tidak ada waktu untuk me time.

Waktu yang ada habis untuk pekerjaan, tugas rumah tangga dan mengasuh anak. Apalagi pas istri atau anak sakit. Repotnya berlipat!

Beberapa temanku mengungkapkan, sebagai pribadi (menjadi orang tua sekalipun) tetap butuh me time. Aku paham, me time ini menjadi recharge agar mood dan semangat terus terisi. Namun, saat anak masih nol tahun, boro-boro mau me time. Jam tidur pun kurang, bro!

Jika punya momongan, harus siap kehilangan me time. Waktu harus bijak dikelola agar tugas dalam pekerjaan dan rumah tangga tetap selesai, anak juga diasuh dengan penuh kasih.

Baca juga: Mengapa Kami Mengasuh Sendiri Anak Kami

3) Mengelola pikiran dan perasaan

Manusia terdiri dari pikiran dan perasaan. Seiring bertambahnya peran seseorang, makin banyak beban menimpa pikiran dan perasaan. Misalnya, jika ada masalah dengan teman kantor, anak-istri di rumah ikut kena. Sebaliknya, jika sedang berantem dengan istri, tugas di kantor bisa berantakan.

Itulah sebabnya, sejak sebelum punya momongan harus bijaksana mengelola pikiran dan perasaan. Jangan suka mencampuraduk semua hal. Jangan sampai orang lain terkena imbas dari ketidakmampuan kita mengelola diri.

4) Menghilangkan rasa jijik

Menjelang pernikahan, ibuku pernah berpesan, "Nanti kamu akan bertanggung jawab pada istri dan anak. Harus telaten dan sabar." Hanya itu bekal yang diberikan, tak ada kursus apa pun.

Awalnya, menggendong bayi yang baru lahir aku takut. Nanti kalau salah memegang atau jatuh bagaimana? Lalu, bagaimana cara memandikan, mengganti popok, melihat dan menghirup aroma pup...? Tidak, aku tidak akan sanggup...

Tapi... aku belajar. Jika aku membiarkan istri mengerjakan semua itu, dia akan sangat kelelahan. Lalu, bagaimana anak bisa merasakan kasihku? (Ada juga lho, yang sampai anaknya berumur setahun, si ayah belum pernah sekalipun mengganti popok. Mungkin karena jijik.)

5) Menjadi teladan dalam kasih dan ajaran firman Tuhan

Yang terakhir, sekaligus yang paling berat. Punya momongan harus siap menjadi teladan dalam kasih dan ajaran firman Tuhan. Tuhan yang menyatukan suami-istri dalam pernikahan. Tuhan pula yang menitipkan anak pada suami-istri.

Anak harus diajari dan dididik dalam pengenalan yang benar kepada Tuhan Pencipta. Salah satu yang perlu diajarkan adalah mengasihi Tuhan Allah dengan segenap hati, jiwa dan segenap kekuatan. Mengasihi Tuhan dicerminkan dari mengasihi sesama.

Itulah sebabnya, keluarga menjadi tempat pendidikan pertama bagi anak. Bukan menunggu anak masuk TK/SD, dan menyerahkan semua pada gurunya. Itu namanya tidak bertanggung jawab.

"haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun." Pengajaran ini harus dilakukan di mana pun, kapan pun, dan dalam situasi apa pun.

Penutup

Ulasan ini bukan untuk menakut-nakuti punya anak. Tapi hendaknya disadari, bahwa punya anak bukan hal sekedar bayi lucu dan menggemaskan. Ada tanggung jawab pengasuhan yang harus dipraktikkan oleh suami-istri. Jika siap dengan tanggung jawab seperti di atas, tentu akan sangat baik.

Sebelum punya anak, bereskan dulu diri sendiri. Supaya anak tidak menjadi korban. Dalam perjalanannya orang tua juga harus terus belajar dalam sekolah kehidupan untuk mengasuh anak dengan bertanggung jawab. --KRAISWAN 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun