Dari pengalaman mengantar istri, berikut pendapatku tentang ujian pembuatan SIM C di Indonesia. (Hal pembuatan SIM A pun tak jauh beda)
Materi ujian praktik tidak relevan
Medan ujiannya kira-kira 5-6 kali lapangan voli. Ada marka khusus yang membentuk jalur tertentu. Dua jalur di antaranya adalah zig-zag dan angka delapan (8). Di setiap marka diberi pembatas (bongkar-pasang) setinggi sekitar 30 cm berupa segitiga orange, lainnya silinder besi.
Pembatas besi ini kalau jatuh, menyebabkan nasi padang di depan mata pun bisa kehilangan daya tariknya. "Klonthaanggggg!", lebih lantang dari usaha pande besi. Semakin sering terdengar bunyi besi menghantam aspal, makin besar peluang peserta ujian mengulang.
Di jalan raya yang dihadapi pengendara adalah bus, truk, truk gandeng, ambulans, truk Pertamina, emak-emak sein-kiri-belok-kanan, hingga bocah ingusan tak memakai helm; bukan pembatas orange/ besi putih-hitam. Di mana relevansinya?
Kata polisi, nantinya akan ada praktik di jalan raya juga. Tapi tetap, lintasan halang rintang itu tidak relevan. Tidak berguna. Pantas saja presentasi kecelakaan sepeda motor masih tinggi.
Pak Kapolri dan/atau pejabat berwenang, tidak berniat melakukan inovasi ujian SIM kah?
Waktu menunggu istri, aku berjalan-jalan di (kukira) taman sekitar Polres. Ternyata adalah miniatur jalan raya yang memuat beberapa rambu, lampu lalu lintas, persimpangan dan zebra cross. Tapi tidak pernah dipakai ujian. Lalu apa gunanya? Mungkin untuk hiasan seperti taman di sekolah-sekolah.
Hanya polisi khusus yang bisa lulus