Mohon tunggu...
Kris Wantoro Sumbayak
Kris Wantoro Sumbayak Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan adalah Proses "Memaksa"

7 April 2022   23:01 Diperbarui: 9 April 2022   17:16 636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pendidikan yang "memaksa" anak membaca| foto: shutterstock via kumparan.com

Demikian kata salah seorang tokoh pendidikan. Entahkah orang tersebut mengutip dari orang, atau meramu sendiri. Anda boleh tidak setuju, mau setuju juga boleh. Bergantung dari sudut pandang yang dipakai.

Bagiku, pendidikan yang "memaksa" punya dua sisi, yakni etis dan non-etis. Untuk memahami perbedaannya, simak beberapa kasus ini ya...

Pemaksaan etis pendidikan 

Di usia TK (Taman Kanak-kanak), anak diajak bermain, bernyanyi dan mulai dikenalkan angka dan huruf. Masuk ke jenjang SD (di Indonesia), anak belajar angka dengan digit yang lebih banyak, lalu diharuskan bisa berhitung dan membaca. Ada ujiannya pula. Di negara lain, hingga kelas 3 bahkan tidak ada ujian.

Bayangkan jika sejak di kelas 1 itu murid tidak diwajibkan menulis, atau membaca. (Sedang yang mengerjakan sambil didampingi saja tidak langsung lancar.) Hampir pasti anak-anak itu hanya ingin bermain, bermain dan membuat onar karena tidak ada kewajiban.

Di sebuah sekolah negeri di suatu kampung, terdiri lima belas murid. Kejadian sekitar 2000-an, sebelum "musim" internet. Semua murid dalam kelas itu diharuskan memindahkan isi buku dengan cara mencatat perkataan sang guru sampai titik-koma. Menulisnya harus rapi dan lengkap.

Bukankah ini suatu bentuk pemaksaan? Tapi itu memang selayaknya dilakukan. Bayangkan jika guru memberi kelonggaran. "Kalian tidak diwajibkan untuk mencatat. Dengar saja apa yang Pak Guru katakan, ingat baik-baik di otak kalian..." Lalu, dengan apa murid mengulas materi dan menghadapi tes?

Menjelang EBTANAS, para murid wajib menghafal nama pemimpin daerah, dan menteri luar negeri yang berganti tiap periode! Apa gunanya? Meski begitu, para bocah itu menurut juga. Mereka tidak menganggap perintah gurunya sebagai paksaan.

Dalam matematika dan fisika, seorang murid harus (dipaksa) menghafal rumus-rumus. Luas segitiga = 1/2 x alas x tinggi. Gaya (F) benda sebanding dengan massa (m) dan percepatannya (a). Jika tidak hafal, bagaimana mau menyelesaikan persoalan?

Di jenjang SMA hingga kuliah, "pemaksaan" ini berlanjut dalam kemasan tanggung jawab, praktikum dan penelitian. Mahasiswa terikat dengan institusi yang memaksa mereka melakukan kegiatan sesuai prosedur, aturan dan birokrasi.

Era pandemi selama dua tahun ini memaksa sistem pendidikan kita dilakukan secara daring. Para guru yang sebelumnya nyaman mengajar klasikal tatap muka, harus belajar apa dan bagaimana cara mengoperasikan Zoom, Google Meet, Google Classroom atau panggilan video serupa. Semua terpaksa dilakukan demi memutus penyebaran Covid-19.

Beberapa kasus di atas, aku sebut sebagai pemaksaan pendidikan secara etis. Sesuatu harus dilakukan untuk kepentingan yang lebih besar dibanding kenyamanan diri. Sesuatu yang bertujuan pada perbaikan kualitas manusia. Sesuatu harus dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab seseorang dalam proses belajar.

Baca juga: Tugas Tematik dan Kesempatan Anak Mengeksplorasi Diri

Pemaksaan non-etis pendidikan

Sekelompok murid SMA terlambat ke sekolah. Ini bukan sekali dua, mereka langganan. Oleh guru kesiswaan, mereka "dijemur" di lapangan sambil sikap hormat pada bendera merah putih selama satu jam. Kadang diminta membersihkan toilet yang aromanya tidak ketulungan.

Dalam masa orientasi, mahasiswa baru harus melakukan keinginan seniornya. Berguling-guling di tanah, merangkak di atas lumpur, menggendong kakak kelas, disiram air... Di institusi tertentu, kakak angkatan berniat menguji fisik juniornya dengan meninju dada dan perut. Sampai ada junior meninggal dunia.

Dalam pembelajaran daring, murid SMP mengikuti Pembelajaran Tatap Muka Terbatas. Tiga puluh menit menyimak penjelasan guru yang juga terbatas, selebihnya diberi daftar tugas. Mereka harus membuat ringkasan setiap minggu dari buku paket. Kalau pun ada latihan soal, mereka tidak mendapat penjelasan sebelumnya. Mereka harus bisa menjawab pertanyaan bagaimana pun caranya.

Pernahkah anda terusik, kenapa di Indonesia ada banyak sekali mata pelajaran harus dipelajari dari jenjang SD hingga SMA? Penjurusan di Kelas XI dirasa terlalu mepet, hanya dua tahun sebelum kuliah. (Meski sudah mulai dikenalkan Kurikulum Merdeka, komponen sekolah perlu waktu panjang menghayatinya.) Bisa jadi ini sebab banyak produk pendidikan banyak tahu, sekaligus banyak lupa. Tak pernah jadi ahli!

Beberapa contoh kasus di atas termasuk pemaksaan non-etis pendidikan. Sesuatu yang dijalankan secara tidak proporsional, tidak jelas tujuan dan manfaatnya dan terkesan ngawur. Kondisi ini mirip dengan keprihatinan Einstein pada sistem pendidikan. "Jangan memaksa ikan untuk memanjat pohon." Sebab setiap anak punya kecerdasan di bidang masing-masing.

***

Wawan mengalami sendiri pentingnya pemaksaan etis dalam pendidikan. Ia memberi les privat pada seorang murid kelas 4 SD, mata pelajaran Matematika dan Bahasa Indonesia. Muridnya belajar di sekolah berstandar internasional, komunikasi hariannya Bahasa Inggris. Muridnya anak tunggal, dari keluarga berada.

Menurut orang tuanya, si murid cerdas, banyak akalnya. Dalam porsi tertentu Wawan sepakat. Namun, muridnya ini moody. Seringkali, murid Wawan melakukan sesuatu yang tidak berhubungan dengan pelajaran. Menyalakan laptop, memegang lembar kerja lain, bermain lego, sampai peralatan praktikum fisika! (Pernah si murid ini mainan solder, padahal Wawan tidak mengajar kalor atau kelistrikan.)

Tingkah murid Wawan tadi adalah alasan karena si anak tidak mau belajar sungguh-sungguh. Anak ini pintar, tapi malas menulis, mengerjakan soal semaunya jadi jawabannya salah. Jika sedang "kumat", ingin rasanya Wawan berhenti. Tapi jika dia melakukannya, mengharap murid hanya yang mudah diajar, apa perannya sebagai pendidik?

Itulah sebabnya, Wawan harus "memaksa" muridnya. Memaksa supaya muridnya mau belajar sungguh-sungguh. Membaca teks, mengerjakan soal dengan teliti, dan menulis jawaban dengan rapi dan benar. Ini termasuk pemaksaan etis dalam pendidikan. Memang itu tugas Wawan, membuat muridnya mau belajar.

Penutup

Mau atau tidak, suka atau tidak, setuju atau tidak; suatu sistem pendidikan mengandung unsur pemaksaan. Namun, pendidik dan pelaku pendidikan hendaknya membedakan pemaksaan etis dari yang non-etis. Pemaksaan pendidikan etis diperlukan agar seseorang mencapai tujuan tertentu dalam proses pembelajaran, salah satunya menjadi mandiri dan bertanggung jawab. --KRAISWAN 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun