Mohon tunggu...
Kris Wantoro Sumbayak
Kris Wantoro Sumbayak Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan adalah Proses "Memaksa"

7 April 2022   23:01 Diperbarui: 9 April 2022   17:16 636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Era pandemi selama dua tahun ini memaksa sistem pendidikan kita dilakukan secara daring. Para guru yang sebelumnya nyaman mengajar klasikal tatap muka, harus belajar apa dan bagaimana cara mengoperasikan Zoom, Google Meet, Google Classroom atau panggilan video serupa. Semua terpaksa dilakukan demi memutus penyebaran Covid-19.

Beberapa kasus di atas, aku sebut sebagai pemaksaan pendidikan secara etis. Sesuatu harus dilakukan untuk kepentingan yang lebih besar dibanding kenyamanan diri. Sesuatu yang bertujuan pada perbaikan kualitas manusia. Sesuatu harus dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab seseorang dalam proses belajar.

Baca juga: Tugas Tematik dan Kesempatan Anak Mengeksplorasi Diri

Pemaksaan non-etis pendidikan

Sekelompok murid SMA terlambat ke sekolah. Ini bukan sekali dua, mereka langganan. Oleh guru kesiswaan, mereka "dijemur" di lapangan sambil sikap hormat pada bendera merah putih selama satu jam. Kadang diminta membersihkan toilet yang aromanya tidak ketulungan.

Dalam masa orientasi, mahasiswa baru harus melakukan keinginan seniornya. Berguling-guling di tanah, merangkak di atas lumpur, menggendong kakak kelas, disiram air... Di institusi tertentu, kakak angkatan berniat menguji fisik juniornya dengan meninju dada dan perut. Sampai ada junior meninggal dunia.

Dalam pembelajaran daring, murid SMP mengikuti Pembelajaran Tatap Muka Terbatas. Tiga puluh menit menyimak penjelasan guru yang juga terbatas, selebihnya diberi daftar tugas. Mereka harus membuat ringkasan setiap minggu dari buku paket. Kalau pun ada latihan soal, mereka tidak mendapat penjelasan sebelumnya. Mereka harus bisa menjawab pertanyaan bagaimana pun caranya.

Pernahkah anda terusik, kenapa di Indonesia ada banyak sekali mata pelajaran harus dipelajari dari jenjang SD hingga SMA? Penjurusan di Kelas XI dirasa terlalu mepet, hanya dua tahun sebelum kuliah. (Meski sudah mulai dikenalkan Kurikulum Merdeka, komponen sekolah perlu waktu panjang menghayatinya.) Bisa jadi ini sebab banyak produk pendidikan banyak tahu, sekaligus banyak lupa. Tak pernah jadi ahli!

Beberapa contoh kasus di atas termasuk pemaksaan non-etis pendidikan. Sesuatu yang dijalankan secara tidak proporsional, tidak jelas tujuan dan manfaatnya dan terkesan ngawur. Kondisi ini mirip dengan keprihatinan Einstein pada sistem pendidikan. "Jangan memaksa ikan untuk memanjat pohon." Sebab setiap anak punya kecerdasan di bidang masing-masing.

***

Wawan mengalami sendiri pentingnya pemaksaan etis dalam pendidikan. Ia memberi les privat pada seorang murid kelas 4 SD, mata pelajaran Matematika dan Bahasa Indonesia. Muridnya belajar di sekolah berstandar internasional, komunikasi hariannya Bahasa Inggris. Muridnya anak tunggal, dari keluarga berada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun