Mohon tunggu...
Kraiswan
Kraiswan Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Filosofi Atap Bocor: Biar Beres, Buka Plafonnya

25 Januari 2022   23:36 Diperbarui: 25 Januari 2022   23:40 1733
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku bukan tukang dan tak berminat menjadi tukang. Ayahku anak tukang, tapi tidak mewariskan bakatnya padaku. Akibatnya aku harus belajar ilmu dasar pertukangan untuk membereskan perkara dalam rumah. Atap yang bocor misalnya.

Siapa yang tidak jengkel dengan atap bocor? Maunya bernaung waktu hujan deras, menikmati kehangatan di dalam rumah. Lha ini malah berbasahan, harus mengamankan barang-barang. Apalagi kalau ada perkakas elektronik. Repot.

Beberapa penyebab atap bocor: genteng pecah, genteng bergeser dari tempat seharusnya, maupun talang berlubang/ sobek/ pecah. Sebuah rumah mengharuskan punya talang jika atapnya memiliki sambungan. Biasanya model rumah zaman dulu.

Jika talangnya tidak dirancang dengan tepat, air hujan bisa membludak ke celah genteng dan membasahi ruangan. Ini terjadi di rumah ayahku. Belakangan, meski talangnya sudah dibuat cor, masih bocor bak grojogan (air terjun). Kok bisa? Karena tidak dibuat dengan tepat. Apalagi di sekitar rumahnya banyak pohon besar, dedaunan kering berjatuhan tertimbun di talang, jarang dibersihkan.

***

Di rumah kontrakan sebelumnya, kami pun repot dengan talang bocor. Setelah pindah rumah, bocor masih jadi menu wajib. Nasib. Masalahnya sama, talang dan atap. Oleh bapakku, talang sudah diganti dengan plat baru. Yang harganya paling mahal, supaya lebih awet. Satu bagian beres.

Masalah lain, di salah satu sudut tembok di ruang tengah air merembes tiap datang hujan. Posisinya dekat dengan talang. Kali ini, bapakku tidak sanggup menangani. Malah mengeluh dan menyalahkan orang lain. "Itu gegara tetangga yang masang atap, genteng kita ditindihkan, trus ndak dibenerin." Tidak solutif.

Pencerahan justru datang dari Om. Beliau penggergaji kayu, tapi bisa nukang. "Kalau mau mencari sumber bocor itu gampang. Ngeceknya pas hujan (ya iyalah). Trus titik rembesannya tidak selalu menjadi titik bocornya. (Owalah...) Biar beres, bongkar plafonnya!" Bah, ini mau diperbaiki tapi kok merusak?

Prinsip ini berseberangan dan takkan ditempuh ayahku. Dia lebih menyayangkan plafon yang tidak bersalah, dibandingkan membereskan hal kebocoran. Maka, kali ini aku percaya pada Om.

Atap menganga menolong menemukan penyebab kebocoran. Analisis Om: atap seng gelombang milik tetangga di bawah genteng dan miring ke arah kami. Sisi yang tertindih hanya sekitar 7 cm. Kalau hujan deras, airnya tumpah ke rumah kami. Oleh Om, seng yang miring itu diganjal sepotong balok agar lebih rata.

Rumah kami dan tetangga adalah satu bangunan yang dibatasi satu tembok. Struktur kayu penahan atapnya langsungan. Biasa, pemborong kan ngejar murahnya.

Upaya Om belum berhasil. Aku terus mengamati di mana titik bocornya. Pas datang hujan, aku harus naik ke genteng, mencari tahu. Berkali-kali aku harus melakukannya sampai suatu hari kutahu seng tetangga yang tertindih genteng kami yang terlalu sempit memberi celah kebocoran.

Logikanya: sambungan antara genteng kami dan seng tetangga harus ditutup rapat. Bisa dicor, tapi susah membongkarnya kalau ada perbaikan ke depan. Ada karpet talang menganggur. Aku pakai itu untuk menahan air agar tidak menimpa ke sambungan genteng. Aku tindih dengan genteng cor agar tidak terbang kalau angin kencang.

Karpet talang untuk menghalau air di sambungan genteng | foto: dokumentasi pribadi
Karpet talang untuk menghalau air di sambungan genteng | foto: dokumentasi pribadi

Beberapa kali hujan deras, dan---eureka!---tidak pernah bocor lagi. Dari pengalaman ini, aku menganalogikan hidup manusia kadang seperti atap yang bocor. Berikut tiga filosofinya.

1) Rumah bertalang: kuno

Rumah yang modern atapnya langsungan, tak perlu talang. Atau bisa juga di-dak (dicor) sehingga tidak ada lagi kasus atap bocor. Dampaknya, ruangan jadi pengap. Tapi yang jelas rumah dengan talang adalah model kuno. Ketinggalan zaman.

Rumah yang kami tinggali adalah model lama. Bagian depan masih bangunan asli. Sedangkan milik tetangga sudah banyak yang dimodifikasi. Ditinggikan strukturnya agar tidak bergesekan dengan genteng tetangga. Banyak dari kita juga pola pikirnya kuno. Kaku. Saklek. Susah beradaptasi dengan perubahan. Enggan mempelajari hal baru. Akibatnya, ada risiko kebocoran talang. Jadi tidak efisien dan merugikan.

Misalnya, dalam urusan pernikahan, lahiran anak, masuk rumah baru harus melakukan ritual dengan menggunakan barang-barang tertentu. Kalau ditanya apa maksudnya, "Kata orang zaman dulu begitu" tanpa tahu penjelasan ilmiah. Susah.

2) Biar beres, buka plafonnya

Hidup di era media sosial memberi untung di satu sisi, dan rugi di sisi sana. Sumber berita dan informasi, promosi atau kampanye adalah baik. Tapi keindahan yang sering ditampilkan tak sejalan dengan realita. Ada yang gaya hidupnya glamor, tapi utang di sana-sini.

Sebelum dibuka, pemandangan pada plafon adalah indah adanya. Padahal, di baliknya tersimpan masalah. Atas kebocoran rumah kami, Om menasihatkan biar beres plafonnya harus dibuka, harus "dibedah". Hancur sepotong tak apa, demi melihat sumber kebocoran.

Demikian juga hati manusia. Penyakit paling berbahaya adalah sakit tak berdarah akibat ulah sendiri atau orang lain. Diperparah orang yang sakit menyangkal dirinya sakit. Harus berani mengaku jika memang sakit dan terbuka. Dokter paling hebat sekalipun perlu membedah saat melakukan operasi. Kecuali kelak sudah ada teknologi robot nano seperti di pilem-pilem itu, tak perlu dibedah.

3) Mengatasi masalah dengan masalah

Kebanyakan anda bakal kontra dengan slogan di atas. Dalam sudut pandang tertentu, ada benarnya. Untuk membangun sebuah stadion megah, misalnya, harus menggusur permukiman warga. Inilah fenomena mengatasi masalah dengan masalah.

Dalam kasus kebocoran di rumahku pun begitu. Air hujan yang merembes dan membasahi ruangan adalah masalah. Untuk menanganinya, harus membongkar plafon. Ini pun masalah, sebab plafonnya jadi rusak. Harus diganti dengan yang baru. Artinya ada biaya lagi yang harus dikeluarkan. Tapi, masalah utamanya selesai bukan?

Akhir kata, aku mengucap banyak terima kasih pada Om. Melalui bantuannya, bocor di rumahku berhasil dibereskan. --KRAISWAN

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun