Dari rangkaian penolakan itu menjadi cara Tuhan membentukku menjadi pribadi yang tidak gampangan memilih pasangan. Dalam kekalutanku, kakak KTB berkhotbah, "Itu menjadi cara Tuhan untuk melengkapi sesuatu yang kurang dalam dirimu." Nasihat itu sulit dicerna otakku, karena dia bahkan belum pernah pacaran.
Meski perkataan kakak itu ada benarnya, aku berusaha berontak. Satu kakak rohani gereja bahkan berujar, "Kalau si Kris meski belum pernah pacaran, nanti sekalinya pacaran langsung jadi (menikah)." Amin!, balasku.
Aku terus berproses. Meski pikiran tidak karuan gegara urusan asmara, aku harus tetap mengerjakan studi. Melalui diskusi dalam KTB, karakter dan pola pikirku perlahan diasah makin dewasa sehingga berprinsip, tujuan pacaran adalah persiapan untuk menikah.
Siap pacaran, berarti siap menikah. Prinsip ini yang juga aku tekankan pada adik-adik KTB. Mulanya, aku ingin pacaran karena mengikuti tren teman-temanku. Mereka saja sudah pacaran, wajar jika aku juga ingin. Aku pernah menganggap dengan berpacaran bisa menaikkan nilai diri. Jika belum pacaran, ada yang kurang.
Baca juga: Beda Adat, Siapa Takut? #3
Meski begitu, berat menerima kenyataan ini. Pertama, aku tipe rasional. Tampangku tidak jelek-jelek amat. Teman-temanku yang (maaf) tidak lebih ganteng dari aku pun bisa punya pacar. Kedua, masa iya seperempat abad lebih aku tak tahu rasanya pacaran?
Ternyata, kelak aku disadarkan bahwa selama ini aku belum diizinkan pacaran karena pada banyak aspek aku belum siap. Untuk itu, aku harus menikmati proses agar lebih siap.
Penantian dan persiapan seperempat abad lebih untuk menemukan (dan menjadi) pasangan tepat yang akan mendampingi seumur hidup, why not?
Tapi sampai di sini pun menjadi tahap yang sulit dijalani, kawan. Perlu hati yang mau dibentuk, percaya, setia dan terus taat. Belum lagi komentar orang-orang terdekat. Bukannya meneguhkan, seringkali melemahkan. "Makanya, jangan banyakan doa. Usaha dong!" Hmm...
Akhirnya aku belajar membuat prioritas hidup. Aku tidak ingin mengandalkan pengertian sendiri, tapi taat pada pimpinan Tuhan. Sebagai mahasiswa, tentunya prioritas utama adalah menyelesaikan studi tepat waktu. (Meski faktanya molor setahun)
Selain memimpin KTB, aku juga melayani di lembaga swadaya pelayanan anak-remaja sebagai mentor (pengajar). Aku sendiri adalah alumni dari lembaga tersebut, jadi sudah punya gambaran teknisnya. Tak hanya mengajar, di lembaga ini aku belajar tentang administrasi. Siapa sangka, ini juga menjadi cara Tuhan mempersiapkanku menjadi guru kelak.
Betapa sibuk tahun-tahun akhirku sebagai mahasiswa. Kuliah, pelayanan, memimpin KTB, masih menjadi mentor remaja. Padatnya tugas dan kegiatan sebagai mentor menguras waktu dan tenaga. Dampaknya, studiku jadi molor. Menyadari bahaya ini, aku harus mengambil keputusan.
Kurang lebih setahun melayani, akhir 2014 aku mengundurkan diri demi menyelesaikan skripsi yang keteteran, ketinggalan jauh dari teman-teman seangkatan, bahkan disalip adik angkatan. Bagiku, melayani adalah wajib. Tapi studi tetap menjadi prioritas.
Singkat cerita, aku lulus juga. Puji Tuhan! Target berikutnya: mencari pekerjaan. Aku mengadu nasib dengan datang ke jobfair yang diadakan kampus. Tapi aku tidak mendaftar ke stand mana pun! Terlalu banyak pilihan, aku jadi galau mau mendaftar ke mana. Atau tidak PD untuk melamar kerja dan wawancara di tempat. Alhasil, sejam lebih di lokasi jobfair itu hanya ajang cuci mata, hehe.
Menolak pasrah, aku segera mengirim berkas via pos ke beberapa sekolah di Jawa Barat dan Jawa Timur. Itu juga atas rekomendasi kakak angkatan. Singkat cerita, aku mendapat panggilan, diproses dan diterima di salah satu SMP swasta di Surabaya. Inilah karir pertamaku sebagai guru! Sekali mendaftar, mengikuti serangkaian proses dan lolos! Aku akan fokus dulu pada pekerjaan.
Setahun merantau, aku cepat beradaptasi dengan ekosistem di Surabaya. Meski masih guru kontrak, aku cukup teruji mandiri, bisa lepas dari orang tua. Sudah punya pendapatan sendiri, dan bisa menabung. Aku juga bergabung dalam komunitas rohani dan tempat pelayanan. Lalu, apa mau lagi?
Tak lain, aku kembali memikirkan pasangan hidup. Tapi aku tak ingin mencari pacar hanya untuk gaya-gayaan atau ikut tren seperti sebelumnya. Aku sadar, hal pasangan hidup adalah penting, jadi harus dipersiapkan jauh hari.
Belajar dari "guru paling berharga", aku lebih selektif dan berhati-hati mencari pasangan hidup. Pertama-tama, aku membuat daftar kriteria pasangan hidupku. Aku doakan setiap hari.
Dalam doa pribadiku, aku meminta tanda dari Tuhan. Sudahkah aku betul-betul siap memikirkan pasangan hidup? Jika ya, di mana Tuhan akan mempertemukanku pada sang gadis pujaan? Apakah di lingkungan sekolah, gereja di Surabaya tempat aku berjemaat, di gereja asalku di Salatiga, atau justru adik angkatan di Perkantas (Persekutuan Kristen Mahasiswa Antarfakultas)?
Meski sudah hidup di Surabaya, aku belum bisa move on dari Salatiga. 1-2 bulan sekali, aku masih pulang kampung demi berjumpa keluarga, adik KTB maupun teman-teman.
Satu-persatu tanda yang aku minta Tuhan beri klarifikasi. Meski ada rekan kerja wanita yang lajang dan menarik, tapi tidak ada timbal balik yang menggetarkan hatiku. Kriteria yang aku doakan juga tidak terpenuhi dalam diri mereka. Bukan berarti mereka tidak berkualitas lho ya. tapi memang tidak sesuai dengan kriteria yang aku doakan.
Baca juga: Buat Kriteria Dulu, Menikah Kemudian
Aku tidak ingin disetir perasaan kasmaran lagi. Di gereja Surabaya maupun Salatiga juga tidak ada indikasi tentang sosok pasangan hidup yang aku doakan. Opsi terakhir dari yang aku doakan adalah adik angkatan di Perkantas. Tapi bagaimana bisa mengenal kesehariannya, sedang aku di Surabaya? Bahkan, seandainya aku pulang sebulan sekali, efektifkah untuk membangun komunikasi dan PDKT? Aku sudah bekerja, mereka masih kuliah. Belum lagi perbedaan karakter dan latar belakang keluarga. Bisakah pola pikirnya nyambung dan jalan nantinya?
Lagi, dengan campur tangan Tuhan, doaku justru dijawab dengan cara yang tak terduga, sulit dipahami. Aku justru diarahkan pada sosok yang tidak masuk dalam daftar. Siapakah dia? --KRAISWAN
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI