Mohon tunggu...
Kris Wantoro Sumbayak
Kris Wantoro Sumbayak Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Beda Adat, Siapa Takut? #3

25 November 2021   12:52 Diperbarui: 25 November 2021   13:14 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi komunitas dalam kelompok kecil | gambar: GETTY IMAGES via thetimes.co.uk

Musim sakit hati mengisi hari-hariku sebagai mahasiswa. Dalam suatu kegiatan PD fakultas. Suatu hari ada satu kakak alumni (sesama prodi pendidikan fisika) yang sok akrab pada kami, maba (mahasiswa baru). 

Setelah berkenalan dan berbasa-basi, dia mengajak kami bergabung dalam salah satu persekutuan di luar kampus. Minggu berikutnya, teman seangkatan mengajakku bergabung dalam kelompok kecil bernama Kelompok Tumbuh Bersama (KTB). Eh, makanan macam apa itu?

Dalam kelompok kecil ini aku makin mengenal betapa diversitasnya Indonesia. Rekan satu kelompok disebut saudara KTB. Pemimpin kelompok (disebut PKTB) kami orang Ambon-Maluku, aku dan satu saudaraku orang Jawa, dua saudaraku yang lain orang Nias dan Soe-Kupang. 

Seperti kampus kami dikenal sebagai Indonesia mini, sebutan itu cocok untuk kelompok kami. Tak hanya perbedaan latar belakang budaya, tapi pola pikir, karakter, serta gaya berkomunikasi membuat kami harus belajar bertoleransi atas keragaman.

Satu PKTB memimpin 3-4 orang mahasiswa, yang dibimbing dan diperlengkapi sebagai murid rohani. Kelak, setelah mencapai tahap tertentu, kami akan gantian memimpin adik mahasiswa yang lain. Regenerasi. Melalui KTB ini banyak aspek dalam diri kami yang terus diasah, yang tidak didapatkan di bangku kuliah.

Baca juga: Beda Adat, Siapa Takut? #2

Mendalami Alkitab menjadi menu wajib. Materi lainnya disiplin menyiapkan materi, mengatur aktivitas, keuangan, maupun relasi dengan sesama. Lebih jauh, kami diajarkan banyak prinsip hidup yang kokoh agar tidak terjerumus dalam kenakalan bermahasiswa. Tujuan utama semua proses ini agar kami mengalami pertumbuhan rohani. Bak tanaman, agar bertumbuh perlu dirawat, disiram, mendapat sinar dan elemen pendukung.

Kelak, proses yang tidak enak dalam KTB ini yang menolongku menemukan Pasangan Hidup. Aku bakal menyesal jika tidak ikut KTB.

Namun, sama halnya tanaman muda yang sedang bertunas, selalu ada hama yang menggerogoti. Demikian juga dalam proses pembentukan kami. Aku dan teman-temanku, meski dilatih dalam kelompok yang sama, tahap pertumbuhannya berbeda. Buah matang di waktu berbeda meski di pohon yang sama. Dan nampaknya, aku yang paling lambat.

Awal bergabung dalam KTB, aku masih berambisi menggaet si gadis Lampung. Masih ngeyel mendekatinya. Jadi fokusku terbagi antara kuliah, pelayanan gereja, KTB dan PDKT. Ngeyel.

Dari KTB, kami diajak ikut kegiatan PU (Persekutuan Umum), di mana semua kelompok kecil bergabung untuk bersekutu. Setelah cukup aktif dalam persekutuan, aku didaulat menjadi relawan tim pemerhati. 

Tugasnya mendoakan, mempersiapkan perayaan ulang tahun anggota persekutuan, mengevaluasi perkembangan tiap kelompok kecil, serta kunjungan. Ada sebuah rumah kontrakan sebagai base camp. Di persekutuan ini pula, kebanyakan hari-hariku sebagai mahasiswa dihabiskan.

Sebagai relawan, aku satu tim dengan teman wanita asli Jawa. Aku mulai sadar (atau sebagai pelarian?) bahwa si Lampung bukan jodohku, meski masih sedikiiiiit berharap. Aku banyak sharing dengan rekanku itu. Kami satu angkatan, hanya beda program studi.

Sama-sama calon guru. Aku bisa bermain gitar, dia suka bernyanyi. Aku pendengar yang baik, dia suka ngoceh. Kami juga senasib. Aku naksir adik Angkatan, tapi ditolak. Doi naksir teman gerejanya yang ternyata sudah jadian dengan cewek lain. Wah, banyak kecocokan nih.

Seiring berjalannya waktu, kami cepat akrab. Tidak hanya membahas pelayanan, kami saling menceritakan sisi pribadi dan pergumulan. Benih-benih asmara pun mulai bersemi.

Tapi, ternyata banyak persamaan tidak menjamin keberhasilan suatu relasi. Tidak jaminan dia adalah pasangan hidupku. Ada banyak hal lebih berprinsip yang diperlukan untuk itu.

Dalam diskusi kelompok kecil, salah satu materi yang dibahas adalah prinsip berpacaran. Singkat cerita, aku memberanikan diri bergumul dan berdoa dengan rekan relawan itu. Tidak banyak saudara KTB-ku yang tahu, karena aku masih menyimpan dalam hati. Beginilah keahlian orang melankolis.

Tahun kedua aku bergabung dalam persekutuan, sekitar tahun 2012, kami Angkatan 2010 sudah mulai memimpin adik-adik KTB. Misi ini tak kalah rumit dengan mendekati lawan jenis, lho. Dari proses mendoakan, mendekati, mengunjungi dan melobi agar mau ikut KTB. Dalam kasusku pribadi, selain momong tiga adik aku juga harus mengelola perasaan dengan si Jawa. Inilah masa-masa rumit yang harus aku jalani.

Bulan terus berganti, perasaan kasmaran dibumbui dengan bermacam cek-cok. Aku punya sifat posesif. Baru juga PDKT, sudah gampang cemburu, suka mengatur dan sensitif. 

Aku maunya menikmati waktu pribadi dengan doi. Sedangkan doi pembawaannya ceria, suka membaur dengan banyak orang. Bahkan, aku merasa tidak nyaman saat dikenalkan dengan teman-temannya. Sebagai apa...? Bukan begini caraku menikmati relasi dengan lawan jenis.

Tak sampai setahun proses PDKT berakhir! Mantan calon pacar jadinya. Kejadian ini juga membeberkan realita, aku bukan pasangan yang tepat baginya. Mulanya aku shock. Ingin berontak, mengingkari kenyataan.

Kukira doi jodohku. Dari sekian banyak wanita yang menolakku, baru kali ini ada yang mau merespons dengan sopan. Ternyata motivasiku (kami) salah. Kami masih disetir perasaan kasmaran. Bukannya mendasarkan relasi atas kedewasaan dan kematangan karakter. Betapa baiknya Tuhan, Dia mau memimpin kami supaya tidak memaksakan relasi ke dalam pacarana. Jika dipaksa, bisa lebih parah saling menyakiti.

Aku disebut ambisius, jika tak mau disebut bebal. Mau atau tidak, hampir semua rekan dan kakak persekutuan tahu kisah asmaraku yang kandas. Namun, itu konsekuensi yang harus diterima. Berani menyukai lawan jenis, harus siap patah hati. Syukurnya, mereka terus mendukungku, khususnya kakak KTB.

Jeda beberapa bulan, aku terus melangkah. Tidak tanggung-tanggung, aku mendekati sahabatnya, orang Maluku. Dia cukup menarik, juga berkepribadian baik. Bebalnya aku. bukannya bertobat dan memperbaiki diri, aku malah mencari pelarian.

Sebagai sahabat si Jawa, dia tahu lengkap aibku. Tapi tidak masalah. Urusanku dengan si Jawa sudah selesai. Aku tak mau sedih berlama-lama hanya untuk menyesalinya. Aku harus membuka lembaran baru.

Setelah beberapa kali PDKT pada rekan Maluku via chat, aku beranikan diri untuk berbicara empat mata. Ada indikasi dia akan menolak bahkan sebelum aku bicara. Barangkali rekam jejakku yang kurang baik menjadi penyebab. Bisa jadi, aku tidak masuk kriterianya.

Setelah mengobrol, katanya dia mau fokus menyelesaikan studi yang sempat molor. Tapi sampai dia selesai dan tidak memberi konfirmasi padaku. Aku pun pasrah, tak ingin memaksa. Gagal maning, gagal maning... Jangan-jangan memang bakatku selalu ditolak cewek. Belakangan aku sadar, relasiku dengan rekan Maluku itu cuma pelarian. Berat mengakui, tapi itulah faktanya.

Sebelum ada pertobatan sungguh-sungguh disambut kematangan karakter, mendekati lawan jenis dengan tameng mendoakan adalah sia-sia. Itu sama saja menolak mendengar suara dan kehendak Allah bagi kita.

Rekam jejak relasi dengan lawan jenis di persekutuan ini tidak menjadi teladan baik untuk adik-adik KTB. Katanya sudah mendoakan, kok tidak jadi pacaran? 

Namun, aku meyakinkan mereka, bahwa mencari pasangan hidup bukanlah hal instan, apalagi terburu-buru. Aku sebagai pemimpin mereka tidak imun dari kegagalan. Tidak ada jaminan jika ikut persekutuan, pelayanan dan rajin berdoa atau ibadah; semua keinginan langsung terwujud.

Meski belum berhasil dalam asmara, tanggung jawab studi dan memimpin KTB harus terus diperjuangkan. Bukannya kabur mencari kenyamanan. Justru melalui KTB ini aku sedang digembleng. Ibarat tanah liat di tangan penjunan, hidupku harus diremas, dilumat, dibasahi, dibanting, bahkan dibakar dengan api sebelum menjadi periuk yang indah. --KRAISWAN

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun