Mohon tunggu...
Kraiswan
Kraiswan Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Kisah Surti: Kebahagiaan yang Harus Dibayar dengan Pengorbanan

25 Juli 2021   15:11 Diperbarui: 26 Juli 2021   09:49 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Surti dan anaknya yang baru dilahirkan| foto: Sutterstock via msn.com

"Berapa pun harganya akan kubayar. Bahkan jika harus menjual kepalaku", demikian janji suci Sakri saat pertama melihat mata elok Surti di pertigaan tempat pohon mahoni besar bertengger.

***

Sejak resmi menikahi Surti, jalan hidup Sakri penuh liku. Gali tutup lubang, sudah biasa. Lapar sesekali, adalah pasti. Sampai suatu hari datanglah kebahagiaan dambaan semua makhluk.

"Kri! Sakri... Enyahlah kau dari gunungan bangkai itu! Binimu sudah mau mbrojol!", kata Darto, tetangganya sesama pekerja pabrik odol. (odol-odol sampah)

Apa...? Sekarang...? Kenapa cepat sekali??? Senang dan bingung. Bahagia dan tak berdaya. Gembira dan lara. Sumringah dan hati susah. Semua perasaan tumpang tindih bersisian bak kabel listrik merah-biru. Hadirnya anak, penerus keturunan adalah jawaban atas penantian sepanjang masa. Tapi, dari mana Sakri menghidupinya? Berapa biaya lahirannya?

Rentang hidup Sukri disebut nelangsa, kalau tak dibilang sengsara dari sononya. Waktu mau melamar kekasihnya, dia dikuliti habis dengan caci dan umpatan keluarga besar Surti, sembilan orang, semuanya lelaki. Mereka keberatan bukan karena muka Sakri yang sesak dengan brewok bak rumput gajah di musim hujan, tak lagi ketahuan letak giginya yang kuning.

Mereka kesal tanpa ampun, menyalahkan gurat nasib. Kenapa adik bontot mereka tak dipertemukan pada manusia yang meski jelek tapi kaya. Setidaknya jangan miskin. Supaya bisa sedikit mengangkat dari lumpur kemiskinan.

Miskin semiskin-miskinnya keluarga Surti. Kalau masih berlaku hukum perbudakan, mereka rela menjual salah satu anaknya demi menyambung hidup. Pahit mana dengan kenyataanmu, kawan?

"Kang Mas, aduh... Aku sudah tidak kuat Kang Mas. Berat, sakit... Dibongkar di sini saja muatan ini", erang Surti. Urat peka Sakri putus, tak mampu membedakan istrinya sedang mengeluh atau bercanda. Ia hanya sanggup menggigit lidah, menahan cairan bening membanjiri mata.

Dielus kepala istrinya dengan tangan dekil bau amis, berharap ada sinar terang dari langit. Tak lama, dari kejauhan terdengar nada cempreng rekannya, Darto. Mungkinkah dia si malaikat...?

"Kri, gimana kabar istrimu? Sudah lahiran? Mau dilahirkan di mana?", serang Darto. Bukannya meneduhkan, cerca tanya rekannya membuatnya makin sesak. "Kau belum ada biaya buat lahiran istrimu kan? Aku bisa membantumu..." ditatapnya sobatnya dengan kerutan kening, tanpa suara. Mabukkah kawannya ini di gunung sampah?

"Ada seorang tauke minyak di kota. Dia kaya bukan main dan suka berderma. Dia mau membantumu." Belum ditanggapi Sakri, istrinya berteriak, "Sakri! Aku sudah tak tahan...!!!"

Tiga puluh menit kemudian, di rumah sakit.

"Terima kasih, Dar. Kau menyelamatkan anak-biniku." Itu kalimat pertama Sakri sedari tadi.

"Keluarga Ibu Surti..." panggil perawat sambil menyodorkan selembar formulir. "Bayi dalam kandungan terlalu besar, tidak bisa lahir normal. Harus dioperasi. Harap segera tandatangani formulir ini." Melotot mata Sakri membaca salah satu poinnya. Bunyinya begini,

Semua biaya kelahiran akan ditanggung dengan asuransi penuh, termasuk penghidupan calon bayi sampai tiga bulan setelah lahir. Tapi setelahnya, ayah dan ibu harus melepaskan hak asuh kepada pemberi dana.

Langit runtuh rasanya... Mana mungkin Sakri tega menyerahkan buah hatinya? Mana mungkin istrinya terima...?

"Pak, segera ambil keputusan. Kondisi ibu semakin kritis", desak perawat. "Tandatangani saja Kri. Itu untuk kebahagiaan anakmu juga", Darto antusias.

Meski istrinya sudah tertangani ahli, pikiran Sakri bergemuruh. Sepeti minyak mendidih isi kepalanya. Bak makan buah simalakama, semua pilihan merugikan. Kalau ia tak tanda tangan, nyawa anak istrinya terancam. Kalau tanda tangan, artinya ia memisahkan anak dari istrinya. Pilihan yang tak bisa dipilih!

Meski begitu, Sakri tanda tangan juga. Itu pilihan yang masih menyisakan kebahagiaan. Anak-istrinya selamat. Ia dan istri masih bisa mengasuh, meski hanya tiga bulan. Pun anaknya akan terjamin masa depannya dalam keluarga kaya itu. Tak sanggup juga Sakri memutar akal, dengan apa ia mau menghidupi anaknya. Hidup sendiri pun sudah susah.

Dua jam berlalu. Nyala merah ruang ICU telah padam. Dihampirinya jantung hidupnya. "Tengoklah Kang Mas, hidungnya mirip denganmu, matanya mirip denganku. Ganteng ya?", ujar Surti sambil mendekap bayinya penuh cinta. Sakri hanya sanggup tersenyum getir. Dielusnya kepala istrinya, sambil dipandangi bayi mungil, sumber kebahagiaan mereka.

Hari-hari berlalu. Sakri dan Surti menikmati masa pengasuhan penuh cinta. Si bayi tumbuh ideal. Tepat besok, mereka harus menyerahkan bayi mungil itu. Iinilah hari yang tepat untuk memberi tahu istrinya, apa pun responsnya.

"Dek, lucunya anak kita... Dia akan bertumbuh jadi lelaki yang gagah", Sakri mengambil jeda. "Iya, Kang Mas." Tapi ada hal penting harus aku sampaikan. Bayi kita lahir membawa kebahagiaan, tapi ada harga harus dibayar..."

"Apa maksud, Kang Mas?" Diserahkannya salinan formulir yang ia tandatangani kepada istrinya. Jatuh setitik cairan melewati matanya, harus menerima kenyataan pahit itu. Tiga bulan kebahagiaan harus dibayar dengan mengorbankan putranya, kebahagiaan itu. Tapi Sakri dan Surti yakin, Yang Maha Kuasa sanggup memberi kebahagiaan lain. Tamat

***

Seperti bintang-bintang di langit, sebanyak itulah kelak keturunannya. Abraham pun tertawa. Mana mungkin di masa senja berumur 100 tahun ia memiliki seorang anak, sedang Sara, istrinya berumur 90 tahun telah mati haid?

Adakah sesuatu yang mustahil bagi Tuhan?

Lalu mengandunglah Sara, dan melahirkan seorang anak laki-laki bagi Abraham pada hari tuanya. Ishak namanya. Sesuai janji Allah. Abraham memiliki keturunan, seorang anak laki-laki.

Tapi belum lama mereka bersama anaknya, Abraham mendapat tugas mahaberat dari Allah. Ia harus mempersembahkan anaknya yang tunggal sebagai korban bakaran di Tanah Moria. Anak laki-laki tunggal, yang dinantikannya seumur hidup harus dikorbankan. Bagaimana dengan janji keturunan sebanyak bintang di langit?

Allah Maha Kuasa, Dia pasti sanggup memberikan ganti anak yang lain, begitu iman Abraham.

Di tempat yang dimaksud, Abraham mendirikan mezbah dari tumpukan batu, disusun kayu bakar yang dibawa anaknya. Diikatnya anaknya, lalu dibaringkan di atas tumpukan kayu. Diambilnya pisau untuk menyembelih anaknya. Tiba-tiba...

"Jangan bunuh anak itu dan jangan kauapa-apakan dia... engkau takut akan Allah..." Sebuah ujian. Abraham pun lulus. Ia menoleh, dilihatnya seekor domba jantang di belakangnya. Tanduknya tersangkut semak belukar. Diambilnya domba itu, lalu dikorbankan sebagai pengganti anaknya. Dari mana domba itu? "Tuhan menyediakan." --KRAISWAN

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun