"Kri, gimana kabar istrimu? Sudah lahiran? Mau dilahirkan di mana?", serang Darto. Bukannya meneduhkan, cerca tanya rekannya membuatnya makin sesak. "Kau belum ada biaya buat lahiran istrimu kan? Aku bisa membantumu..." ditatapnya sobatnya dengan kerutan kening, tanpa suara. Mabukkah kawannya ini di gunung sampah?
"Ada seorang tauke minyak di kota. Dia kaya bukan main dan suka berderma. Dia mau membantumu." Belum ditanggapi Sakri, istrinya berteriak, "Sakri! Aku sudah tak tahan...!!!"
Tiga puluh menit kemudian, di rumah sakit.
"Terima kasih, Dar. Kau menyelamatkan anak-biniku." Itu kalimat pertama Sakri sedari tadi.
"Keluarga Ibu Surti..." panggil perawat sambil menyodorkan selembar formulir. "Bayi dalam kandungan terlalu besar, tidak bisa lahir normal. Harus dioperasi. Harap segera tandatangani formulir ini." Melotot mata Sakri membaca salah satu poinnya. Bunyinya begini,
Semua biaya kelahiran akan ditanggung dengan asuransi penuh, termasuk penghidupan calon bayi sampai tiga bulan setelah lahir. Tapi setelahnya, ayah dan ibu harus melepaskan hak asuh kepada pemberi dana.
Langit runtuh rasanya... Mana mungkin Sakri tega menyerahkan buah hatinya? Mana mungkin istrinya terima...?
"Pak, segera ambil keputusan. Kondisi ibu semakin kritis", desak perawat. "Tandatangani saja Kri. Itu untuk kebahagiaan anakmu juga", Darto antusias.
Meski istrinya sudah tertangani ahli, pikiran Sakri bergemuruh. Sepeti minyak mendidih isi kepalanya. Bak makan buah simalakama, semua pilihan merugikan. Kalau ia tak tanda tangan, nyawa anak istrinya terancam. Kalau tanda tangan, artinya ia memisahkan anak dari istrinya. Pilihan yang tak bisa dipilih!
Meski begitu, Sakri tanda tangan juga. Itu pilihan yang masih menyisakan kebahagiaan. Anak-istrinya selamat. Ia dan istri masih bisa mengasuh, meski hanya tiga bulan. Pun anaknya akan terjamin masa depannya dalam keluarga kaya itu. Tak sanggup juga Sakri memutar akal, dengan apa ia mau menghidupi anaknya. Hidup sendiri pun sudah susah.
Dua jam berlalu. Nyala merah ruang ICU telah padam. Dihampirinya jantung hidupnya. "Tengoklah Kang Mas, hidungnya mirip denganmu, matanya mirip denganku. Ganteng ya?", ujar Surti sambil mendekap bayinya penuh cinta. Sakri hanya sanggup tersenyum getir. Dielusnya kepala istrinya, sambil dipandangi bayi mungil, sumber kebahagiaan mereka.