Tak penting isi, tapi bungkus
Konon, BTS Meal ini adalah menu favorit yang biasa dipesan grup BTS, dinarasikan oleh McD. Strategi pemasaran macam ini berhasil menciptakan sensasi abstrak pada barang yang dibeli. Konsumsi tidak lagi didorong oleh kebutuhan primer atau nilai guna, melainkan simbol yang disematkan pada produk itu.
Fenomena ini oleh Theodore Adorno disebut fetisisme komoditas, yakni pemujaan atas sebuah produk industri. Menjadi keyakinan bahwa ada kekuatan sakti tertentu di balik suatu produk yang dapat meningkatkan kenikmatan citra penggunanya. Aku belanja maka aku ada.
Pemahaman ini menyebabkan kebahagiaan ditentukan dari apa yang dikonsumsi. Ini semu. Tidak sejati. Ini sebabnya, para penganutnya tidak lagi memedulikan isi bahkan harga, tapi bungkusnya. (kompas.com)
Sesama ARMY tapi beda cara menghayati
Jika anda ARMY, jangan tersinggung. Masih tersinggung? Itu masalah anda.
Chef Arnold rela merogoh sampai Rp 3 juta demi mendapat BTS Meal. Ini bukan nugget atau kentang goreng. Ini BTS Meal, beda Bos, ujarnya. Menteri Erick Thohir pun turut berburu untuk anaknya.
ARMY milenial dibela-belain mengantri melalui ojol atau lantatur demi pride dan kepuasan pribadi. Saking fanatiknya, bekas bungkusnya pun diperjualbelikan di e-commerce. Bandingkan dengan ARMY Malaysia yang menyumbangkan 200 lebih paket BTS Meal untuk nakes.
Di Dubai (Uni Emirat Arab), kemasan BTS dianggap sampah. ARMY Dubai yang selesai makan langsung meninggalkan bungkusnya, lalu dibuang pelayan restoran. Mereka tak katrok seperti ARMY Indonesia. Beda ya bund, yang hobinya makan minyak, dengan yang jualan minyak.