Cuma tiga ribu memang. Dan kesalahan ada di pihak toko. Harusnya bukan masalahku. Tapi, sesuatu di dalam kepala bicara lebih lantang, setia pada perkara kecil.
Kasirnya mungkin kurang teliti. Atau sistem komputernya yang eror. Tapi, aku pun tidak sepenuhnya benar. Kenapa aku tidak mengklarifikasi langsung waktu itu?
Siang hari, tepat keesokannya aku kembali ke toko dimaksud. Aku harus mengklarifikasi pada mbaknya kasir. Setidaknya aku mau berbuat sesuatu yang baik.
Dengan potong kompas, aku langsung menyapa petugas kasir, menjelaskan kenapa harga di kemasan berbeda dengan yang di struk. Seorang perempuan di belakang kasir sedang membereskan uang koin ke dalam kantong, pergantian shift. Temannya menerima baterai dan struk dariku, lalu bertanya pada rekannya yang lain.
Setelah menunggu sekitar 3 menit, salah satu mereka, nampak yang lebih senior meladeniku. "Masnya maunya gimana?" Loh, malah balik nanya. "Ini lho mbak, di label tertulis lima belas ribu, tapi notanya dua belas ribu. Yang mana yang benar?"
"Lha memang di mesin pemindai yang terbaca gitu og mas", jawab mbaknya. "Berarti ndak apa-apa nih?"
"Ndak apa-apa mas" "OK mbak, terima kasih." Kan, malah aku yang berterima kasih. Selepas aku meninggalkan kasir, ketiga perempuan itu sangat mungkin bergibah, "Kurang kerjaan."
Aku pulang dengan senang, dan menang. Bukan maksud sok pahlawan, membeberkan kejadian receh.
Aku sekadar mengikuti nurani, kalau ada yang salah, tidak lurus atau janggal, ya dibereskan. Sekali lagi, salahku karena waktu membayar di kasir aku tidak langsung memberitahu, jadinya mengganjal.
Jika aku tetap cuek dan tidak mengklarifikasi, meski cuma tiga ribu, bisa jadi untuk perkara yang lebih besar aku kompromi melakukan yang tidak baik.
Di saat dunia semakin rusak dengan berupa-rupa dosa, kita perlu menjadi berbeda. Yang lain punya mobil baru, bisa beli perhiasan dan tas mahal.