Semua orang butuh liburan. Meski masih pandemi, sebagian orang rela untuk tidak pulang kampung, asal bisa piknik! Apalagi dengan kebijakan pemerintah yang kontradiktif. Dilarang mudik supaya tak menularkan virus, tapi boleh piknik. Memang kalau orang piknik berkerumun tidak bisa menyebarkan virus?
Idul Fitri/ lebaran adalah perayaan besar bagi umat muslim, sekaligus tradisi umum untuk umat nonmuslim. Lebaran berarti pulang kampung dan cuti bersama. Tradisi ini sulit diabaikan, tak peduli masih pandemi. Kan sudah ada vaksin. Kan pakai kendaraan pribadi. Dan alasan seterusnya. Bersamaan dengan Idul Fitri ini, kesempatan liburan/ piknik.
Piknik berarti mengunjungi tempat wisata yang diminati banyak orang, seperti pantai, danau atau taman hiburan. Menikmati wahana populer, atau sekedar berfoto di tempat-tempat viral buat membarui media sosial. Anda punya definisi sendiri?
Sebagian kita jengkel (atau sepakat?) dengan masyarakat yang kompak buat piknik. Seperti pemadangan di Pantai Ancol Jakarta, Pantai Pangandaran Jawa Barat, Pantai Menganti Jogja kapan lalu. Sejatinya piknik adalah kebutuhan. Tak salah, tapi janganlah berkerumun. Bagaimana pula melarang orang berkerumun, sedang itu tempat umum. Serba salah kan? Pastinya, setiap kita tak ingin berakhir seperti India.
Sepengen-pengennya aku piknik, kok tidak niat terlibat dalam kerumunan. Berangkat dengan ekspektasi tinggi bisa refreshing, pulangnya capek. Belum kalau (amit-amit) terpapar Covid-19. Ngeri.
Suatu akhir pekan, istri yang berprofesi manajer rumah tangga, yang hampir 24 jam x 7 hari seminggu menunggui rumah, mengusulkan piknik. What...? Dalam kondisi seperti ini? Ke mana? Bagaimana kalau macet, lalu berkerumun? Bagaimana kalau...
Syukurnya, istri punya selera di luar arus utama. Dia tidak menginginkan pantai, wahana wisata, maupun tepi sungai. Doi emang beda. Kami punya definisi piknik tersendiri. Sebagai naturalis, kami menyukai lokasi wisata yang banyak tanaman hijau, yang tidak berkerumun. Jelas bukan pantai.
Lokasi wisata yang memerlukan sedikit keringat untuk mencapainya. Yakni gunung, bukit, atau kawasan air terjun. Di masa pandemi dan kondisi istri saat ini yang tidak mendukung, sulit mencapai tempat-tempat itu. Lalu? Masih ada yang hijau-hijau yang terjangkau, apa itu?
Hari itu, kami bangun lebih awal. Air secukupnya menyapa wajah dan tangan, semprotkan pewangi dan kenakan jaket, berangkat. Ke mana kita hari ini?
Sawah dan Pohon Pengantin
Cukup lima menit dengan motor dari rumah, kami tiba di suatu tempat wisata. Tidak betulan wisata, karena tidak ada plang resmi, tidak ada SK dari dinas terkait. Hanya karena sering dikunjungi orang. Ada yang sekedar berfoto bersama teman, foto persiapan menikah maupun sekumpulan anak-anak lokal. Terletak di Pulutan, Kecamatan Sidorejo, Salatiga, Jawa Tengah.
Pohon Pengantin, begitu nama tempat ini diberi nama. Satu-satunya pohon di tengah sawah. Apa uniknya? Batangnya melengkung seperti orang membungkuk, bisa dipakai tempat duduk. Kalau waktunya pas, bisa dapat potret indah, perpaduan langit dan sinar matahari atau pantulan air sawah.
Kenapa disebut Pohon Pengantin? Dari beberapa sumber yang dibaca, tidak ada info akurat. Warga sekitar mengatakan, pohon itu sudah ada di sana sejak dulu, sejak mereka masih kecil. Ada juga yang mengatakan, karena pohon itu dijadikan tempat foto untuk calon pengantin, disebutlah Pohon Pengantin.
Kami datang di waktu yang pas. Pas sawahnya digenangi air. Jadilah cermin yang memberi pantulan hampir sempurna. Hari masih pagi, pencahayaan juga pas. Teduh, dan hangat. Beruntunglah kami datang kali ini.
Di seberangnya, dipisahkan jalan aspal kecil, terdapat hamparan sawah dengan latar belakang Gunung Merbabu dan Telomoyo. Meski langitnya sedang tidak bersih, siluet gunung masih terlihat. Kalau langitnya bersih, ditambah padinya sedang menghijau, wah, sempurna!
Baca juga: Pohon Manten, Saksi Mimpi "Trio P"
Sawah dan Kampoeng Rawa
Dengan menempuh sekitar 15 km, 30 menit dengan motor, kami mencapai suatu tempat makan. Menurut Google, tempat itu buka jam 09.00 WIB. Kami tiba jam 09 lebih. Loketnya memang sudah buka. Tapi di warung makannya belum. Lokasi ini merupakan kawasan wisata cukup luas, terdiri dari beberapa kios warung makan, penjual oleh-oleh, pendopo, sentra UKM unggulan, wahana perahu (selama pandemi masih ditutup) dan warung makan tadi.
Warung makan ini unik karena terapung di atas kolam, airnya dari Rawa Pening. Rawa yang menurut legenda terbentuk dari kisah Baru Klinting. (baca di sini)
Kampoeng Rawa Ambarawa, merupakan usaha Bumdes (Badan Usaha Milik Desa). Lokasi unggulannya adalah warung apung. 90% bangunan warung memang terapung! Keren kan.
Dari tempat parkir, tinggal jalan sekitar 200 m menuju ke tempat cuci tangan, wastafel unik perpaduan gerabah dan semen. Tepat di depannya adalah gerbang penyeberangan. Maksudnya? Lokasi warung apung dan daratan dipisahkan air kolam. Untuk mencapainya harus naik gondola joglo. Unik kan? (Info lebih, klik kampungrawaambarawa.blogspot.com Penasaran? Sila berkunjung.)
Ada dua gondola tersedia, beserta petugas yang menyeberangkan pengunjung ke atau dari warung apung. Inilah akses satu-satunya menuju warung apung, kecuali mau menyelam atau bawa perahu sendiri.
Meski kelasnya Bumdes, aku salut dengan pengelola tempat ini. Wajib cuci tangan sebelum naik gondola, dicek suhu badan dan tangan disemprot hand sanitizer. Keren. Tiap pelayannya mengenakan seragam berornamen batik, dilengkapi name tag.
Tersedia pendopo utama berisi bangku dan meja yang melekat dengan kasir. Ada juga pendopo-pendopo privat yang bisa diisi 4 orang, disediakan bantal. Karena langsung di tepian Rawa Pening, menjelang siang bakal panas dan silau. Tenang, disediakan kerai bambu yang bisa dilepas-gulang sesuai kebutuhan. Pada kunjungan kali itu tidak terlalu ramai. Belasan pendopo yang tersedia belum semua terisi.
Menu hidangannya tak jauh beda dari tempat makan umumnya. Tersedia makanan nasional sampai yang kebarat-baratan. Karena namanya "Rawa" tentu ada menu andalan olahan bermacam ikan air tawar. Harganya? Terjangkau. Sepadan dengan rasa dan fasilitas yang disediakan.
Kawasannya menjorok, setidaknya 800 meter dari jalan raya lingkar Ambarawa. Tidak berisik, minim polusi, sesekali disapa semilir angin. Dari jalan raya itu, pengunjung dimanjakan dengan hamparan sawah. Sepanjang jalan lingkar itu memang daerah persawahan.
Lagi, kami diberkati karena padinya pas sedang hijau. Kami hentikan motor di tepi sawah (mungkin hanya kami yang kurang piknik, hihi). Kamera HP siap, istri sudah mendapat spot andalannya. Hamparan serba hijau dengan latar belakang pegunungan.
Begitu pun sudah piknik bagi kami. Ditutup dengan menyantap pisang goreng, nasi goreng dan kopi hitam. Mantab! Pikniknya yang terjangkau jarak dan harga, dan paling penting tidak berkerumun. Anda punya piknik yang aman juga? --KRAISWANÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H