Akhir Maret lalu, terbitlah surat nikah dari kantor Disdukcapil Ungaran (domosiliku). Akhirnya... 'Cuma' enam bulan buat mengurus. Tak kurang dari seratus delapan puluh hari. Singkat, toh? Aku akhiri status nikah siri terhadap istriku. Sejak awal memang kami tak berniat, keidean pun tidak, nikah siri.
Aku mau berkontribusi bagi kemajuan bangsa dan negara, nikahnya harus sah di depan agama dan negara dong! Cukup satu. Menolak keras poligami.
Surat nikah sudah terbit. Selesai soal? O, tenang. Belanda masih jauh. Aku masih harus pecah KK dari bapakku. Syaratnya, aku dan istri harus mencabut berkas dari kelurahan masing-masing, Ungaran dan Bulusan (Tembalang).
Baca juga:Â Aplikasi Sipenduk Online: Inovatif tapi Tidak Solutif
Biar laut bergelora dan pandemi Covid-19 masih mengganas. Meski aku belum tahu dapat stok vaksin atau tidak. Walau bulan April masih turun hujan. Berkas itu harus tetap diurus, toh?
Sekolahku libur dua hari dalam rangka awal puasa Ramadhan. Ngapain biar produktif? Urus berkas, dong.
Pertama-tama, aku urus berkas di kelurahanku. Dari RT (lancar!, hihi), RW, lalu kelurahan. Biasanya dari kelurahan harus lanjut ke kecamatan, dan/atau Dukcapil. "Ini mau diurus ke kecamatan atau onlen, mas?" Retoris. Kalau bisa ribet, ngapain ringkas? "Onlen saja pak".
Perlu setidaknya 25 menit sampai dataku tercatat sistem. Maklum, kebijakan baru. Operatornya pun sudah berumur. Sabar... Surat keterangan pindah bakal dikirim ke alamat bapakku, 2-3 minggu kemudian. Satu selesai, tinggal berkas istriku.
Dua hari sebelumnya, sekalian acara di Semarang, kami sudah mencicil minta pengantar dari RT/RW domisili KTP istri. Belajar dari drama sebelumnya, tak bisa sehari jadi. Maka hari ini (12/4), langsung bisa ke kelurahan Bulusan.
Sepuluh menit, terbitlah formulir keterangan pindah istriku. "Ini lanjut ke kecamatan ya mas. Lalu untuk ke Dispenduk, harus antre online di aplikasi atau web ini (menunjuk brosur di sekat akrilik)", jelas bapaknya kelurahan.