Begini nasib jadi bujangan | Ke mana-mana asalkan suka | Tiada orang yang.... Hush hush! Salah playlist, min! Yang bener dong... Aku di sini dan kau di sana | Hanya berjumpa via suara | Jauh di mata namun....
Bagi yang menjalani LDR (Long Distance Relationship) pasti paham maksud penggalan dua lagu di atas. Lagu Koes Plus ada benarnya. Lebih enak nasib bujangan, mau ke mana saja, bebas! Beda dengan yang sudah pacaran, LDR pula. Susah, mak!
Anda pelaku LDR? Tenang, dunia tak selalu kejam karenanya. Berbagai penelitian mengungkapkan manfaat menjalin LDR, di antaranya membangkitkan keintiman, menumbuhkan tingkat kebahagiaan antarpasangan, menurunkan tingkat stres, serta membentuk kita jadi sosok mandiri. (genpi.co)
Di zaman orang tua kita, empat dekade ke belakang, LDR menjadi siksaan mahaberat. Jarak hanya bisa disambung dengan surat, dan doa. Telepon umum pun masih jarang. Sekarang, saat media komunikasi serba mudah, murah dan melimpah, LDR kian mudah. Betulkah?
Gunung kan kudaki, lautan kan kuseberangi demi cintaku padamu, kata pujangga.
Relatif. Bergantung pada yang menjalaninya. Ada pasangan LDR bertahun-tahun, tiba juga di mahligai pernikahan. Yang berdekatan, ada juga yang kandas. Jadi, LDR atau SDR (Short Distance Relationship) bukan penentu keberhasilan hubungan.
Saya adalah alumni sekolah kehidupan bernama LDR, ditempuh selama 5 semester (2,5 tahun). Kini sudah menikah. Jadi kita (harus) sepakat, saya sudah lulus. LDR memang tidak mudah tapi bisa dilalui. Apa saja syaratnya?
Setia. Anda gampang cemburu? Selalu curiga? Sulit mengabari doi as soon as possible? Anda membiarkan tumbuh getaran-getaran dengan lawan jenis lain? Anda suka memberi dan mencari perhatian pada lawan jenis di dekat anda? Apakah anda nyaman akan kebaikan hati lawan jenis lain? Jika jawaban semua pertanyaan itu "Tidak", selamat! Bisa jadi, anda sanggup LDR.
Tapi, itu belum cukup.
Setia (KBBI) berarti berpegang teguh (pada janji, pendirian, dsb); patuh; taat. Tetap dan teguh hati. Setia juga diindikasikan dengan konsistensi perkataan/ janji yang pernah diucapkan. Sinkron antara perkataan dan tindakan; berintegritas.
Saat fisik berjeda, doi tidak bisa melihat langsung kita sedang apa, di mana, dan dengan siapa, tetapkah setia? Setia berarti tidak memakai mata melihat yang tidak perlu. Tidak mengumbar hati pada perasaan sesaat. Pada saat bersamaan, perlu percaya doi juga pribadi setia.
Ujian tersulit kesetiaan adalah saat doi melukai atau menyakiti, sanggupkah tetap mengasihi dan menyayangi lalu mengampuni?
Baca juga: Buat Kriteria Dulu, Menikah Kemudian
Punya target. Hidup ini adalah ujian. Ujian berguna menentukan kita naik kelas atau tidak. Seperti halnya anak sekolah, harus memasang target. Harus dapat nilai berapa, harus naik kelas, rangking berapa dan seterusnya. Semakin tinggi target dipasang, makin besar daya harus dikerahkan.
Begitu pun dalam berpacaran, apalagi LDR. Pertama kali berkomitmen pacaran, kami harus LDR karena pekerjaan. Prinsip kami, LDR boleh tapi harus ada target. Jangka pendek, menengah dan panjang. Target ini menolong agar tidak keluar jalur atau keblinger.
Jangka pendek, kami menjadwalkan tatap muka minimal dua bulan sekali. Saya yang ke Jakarta, atau doi ke Salatiga. Jangka menengah, berkenalan dengan keluarga, mendiskusikan buku persiapan menikah. (Ada ya, pacarana model begini...?) Jangka panjang, menikah!
Usia penting bagi (sebagian besar) wanita. Kalau tiga puluhan baru menikah, nanti di usia 50 tahun, anaknya masih remaja, sedang fisik makin renta. Jadi, wahai para pria, kalau pasanganmu terus bertanya kapan dinikahi, itu karena dia peduli pada keluarga kalian nantinya.
Beda dengan pria, umur hanyalah angka. Usia 30 masih santai bak di pantai, woles. (Hei pria, begitu, kan?) Mengejar karir, mencapai kejayaan finansial. Kalau bisa siap rumah, dan mobil sebelum menikah. Tapi, jangan keblinger, nanti keburu digondol orang loh...
Baca juga: Mengasihi Pasangan dengan Lima Bahasa Kasih
Berorientasi menikah. Berani pacaran berarti siap menikah. Itu prinsip. Kalau anda bekerja keras siang malam hanya untuk menyenangkan diri sendiri dan teman-teman, tak usah dulu mengikat lawan jenis dalam pacaran. Hidup sendiri lebih baik.
Ada lho, orang pacaran hanya demi status, 'supaya tidak sendiri' tapi tanpa target. Ada yang takut menikah karena pengalaman buruk. Misalnya dari keluarga broken home, ada penolakan dari orang tua, dsb.
Ini bagian penting untuk dikenali pada pasangan. Menikah tidak cukup rasa cinta, bro!
Dengan orang yang saya pacari, dengannya saya akan menikah. Syukur, doanya dijawab. Itulah anugerah tak terduga. Ya, pacar pertama dan terakhir yang akhirnya menjadi istri saya. Demikian pun dialami doi.
Hidup menjadi lebih tenteram dan damai, tidak direpotkan dengan kenangan bersama mantan terindah (preet!!). Kalau dengan gebetan, ada sih, hehe.
Memangnya bisa persiapan menikah jarak jauh? Bisa, kalau diusahakan. Apalagi di masa pandemi sekarang. Mau tidak mau, ya jarak jauh.
Bekerjalah sekeras-kerasnya, setulus dan sebaik-baiknya. Jangan beri kesempatan mata dan pikiran untuk mengerjakan yang jahat. Sekerasnya, tapi harus berhikmat. Ada target seperti poin di atas.
Sepakati, berapa tahun mau pacaran, tahun berapa menikah. Apakah memungkinkan salah satu pindah tepat kerja agar satu kota/ berdekatan. Diskusikan juga jauh-jauh hari, setelah menikah berdomisili di mana, siapa yang akan menyesuaikan tempat bekerja.
***
Setelah menikah...
Ujian jarak jauh sudah lolos, berikutnya jarak dekat. Akankah menjadi mudah? Bisa ya, karena tiada lagi jarak memisahkan. Tapi tidak, disebabkan banyak keaslian pasangan harus dikenali, diungkapkan dan diterima.
Akhir kata, selamat berjuang, pejuang LDR!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H