Pertama, guru honorer juga pahlawan bangsa. Meski begitu, saya tidak rela menjadi guru honorer. Bagaimana gaji honorer bisa menopang gaya hidup saya membeli paket data agar bisa menulis di Kompasiana? Mana bisa isi bensin motor berapa bulan sekali menunggu digaji, kalau ingat. Hati saya tidak semulia para pengabdi bangsa itu.
Maka, guru honorer adalah pahlawan sejati. Ibarat medan peperangan, merekalah garda terdepan penangkis 'peluru-peluru kebodohan'. Lebih militan, tekun, dan tulus dibanding (sebagian) PNS. Besaran gaji tidak mempengaruhi kinerja mereka. Bandingkan dengan PNS yang hobi izin, padahal bejibun tunjangan.
Saya bukan bicara kosong. 2019, waktu menjadi relawan gempa di Lombok, NTB, saya melihat dengan mata kepala sendiri, guru PNS di desa terdampak yang saya layani tidak datang ke sekolah (tenda). Alasannya, mengurus rumahnya yang kena gempa. Lalu, siapa yang mengajar anak-anak? Para relawan.
Di kelas, kita sering mengoceh (sampai berbusa) pada murid, harus menghargai dan menghormati orang lain, tanpa memandang profesinya. Bagaimana mau digugu kalau kepala sekolahnya bertindak begitu. Jadi, wahai kepala sekolah yang budiwati, jika tidak bisa menyejahterakan honorer janganlah menambah kesusahan mereka.
Kedua, ini zamannya media sosial. Sesuai fungsinya, media sosial memfasilitasi kita mengungkapkan ide, pikiran, perasaan, dan imajinasi kapan pun, pada siapa pun!
Mau menggunggah foto sedang di mana, lagi makan apa, bareng siapa, ngopi di mana, berapa gajinya; bebas! Selama tidak melanggar UU ITE. Jika diakibatkan suatu unggahan ada yang tersinggung, padahal tidak melanggar undang-undang, ya derita situ...
Hervina bukan satu-satunya yang mengalami nasib malang. Jika dengan mengunggah di medsos bisa mencelikkan mata dan menggugah nurani pemerintah, saya yes!
Memangnya, mantan presiden ke-6 saja yang boleh baperan di medsos...?
Baca juga: Kau yang Mengobarkan Semangat agar Kami Merdeka
Ketiga, media sosial sebagai kendaraan kritik. Katanya mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara sebagai amanat undang-undang. Bagaimana bangsanya mau cerdas kalau pendidiknya saja tidak sejahtera.