Bagaimana kalau murid (usia kecil) belum bisa membaca? Nah, di sinilah peran kunci kolaborasi orang tua dan guru. Idealnya, anak bisa membaca-tulis-hitung berkat diajari guru (baca: orang tua membayar ke sekolah). Tapi sejak PJJ, orang tualah yang paling terjangkau dengan anak. Mau atau tidak, suka atau tidak, orang tua perlu mengambil peran mengajari dan mendampingi anak membaca.
Pertanyaan paling sulit dijawab, Bagaimana kalau anak tidak memiliki minat membaca? Sering, jika orang tua sibuk dan tak sabar, lebih mudah 'menuduh' guru. Apalagi anak lebih tertarik pada aktivitas di media sosial seperti Instagram, Youtube, dan---tentu saja---Tik-tok! Jangankan anak-anak, orang dewasa saja demen. Hayo ngaku...
Tidak masalah beraktivitas di media sosial tadi, toh memang sudah zamannya. Tapi tidak semua kebutuhan anak disediakan mereka. Apa saja kebutuhan itu?
Melansir bimba-aiueo.com, banyak manfaat yang diperoleh jika anak terbiasa membaca buku. Menambah kosakata baru, meningkatkan keterampilan komunikasi, mengenalkan konsep baru, melatih berpikir logis, melatih konsentrasi, mengembangkan imajinasi dan kreativitas, membuka cakrawala, siap menghadapi kehidupan nyata, membangun hubungan erat dengan orang tua, membentuk pola dan perilaku sosial, serta meningkatkan prestasi akademik.
Salah satu kiat untuk membiasakan membaca ialah SSR. Sejak 1950-an Amerika sudah menjalankan program ini. Berbagai istilah dipakai untuk menggerakkan program literasi ini, misalnya Free Voluntary Reading (FVR), Self-Selected Reading, Sustained Silent Reading (SSR), dan Drop Everything and Read (DEAR). Istilah terakhir diterapkan di sekolah tempat saya pernah mengajar SMP di Surabaya. Meski berbeda dalam pelaksanaan, tapi prinsipnya sama yaitu mengembangkan kemampuan tiap siswa membaca senyap tanpa jeda dalam waktu tertentu. (doingliteracy.id)
Apakah program SSR efektif? Ada lima prinsip yang menjadi penentu keberhasilan program SSR ini.
1. Siswa memilih/ dipilihkan bahan bacaan. Di sekolah kami, siswa dipilihkan dan dibagikan dalam bentuk soft file. Selain lebih hemat, sangat efektif. Mengingat kebutuhan di masa pandemi membengkak, sedang pendapatan orang tua stag, sebagian mungkin berkurang.
2. Guru menjadi contoh dengan ikut membaca senyap pada saat bersamaan.
3. Timer atau pembatas waktu yang disepakati bersama. Di sekolah kami, 10 menit tiap hari.
4. Tidak ada laporan atau tagihan yang diminta dari siswa. Tujuannya murni memberikan kesempatan siswa menikmati waktu membaca tanpa embel-embel nilai. Kebijakan khusus di sekolah kami, siswa harus mengisi lembar my reflection log tadi. Jika tidak begitu, mereka cenderung ogah-ogahan.
5. Seluruh kelas dan sekolah menjadi bagian dari SSR.