Saya sadar sepenuhnya konsekuensi bepergian ke luar kota, salah satunya keharusan WFH (Work from Home). Namun, jika pihak yang lebih berwenang tidak mengharuskan, kesalahan bukan berada pada penonton...
***
Beberapa hari setelah Walikota Solo menetapkan 14 hari belajar di rumah akibat pandemi Covid-19 (kalau tidak salah, itu hari Minggu), kota-kota di sekitarnya menempuh langkah serupa, termasuk Salatiga. Siang itu juga, pihak yayasan dan sekolah kami menggelar rapat dengan hasil: siswa belajar di rumah selama 14 hari. Hal ini bertujuan untuk menekan penyebaran virus Corona.
Siapa sangka, 14 hari itu keterusan hingga satu semester bahkan pergantian tahun. Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah yang biasanya dilakukan tatap muka, datang ke sekolah, dilakukan dalam jaringan. Berikutnya, pembelajaran, pertemuan orang tua, penerimaan hasil belajar; semua daring!
Di awal masa belajar di rumah itu, para guru dan staf tidak langsung WFH, melainkan ngantor bergilir. Seminggu masuk tiga kali. Pas masuk menyiapkan rekaman dan media pembelajaran, hari lainnya di rumah.
Memasuki tahun ajaran baru 2020/2021 kami lebih siap mengajar daring melalui Google Classroom. Setidaknya, komunikasi berjalan dua arah. Beban berat untuk laptop, jaringan internet dan---tentu saja---otak, namun lama-kelamaan terbiasa juga. Praktis, satu semester penuh kami mengajar jarak jauh. Luar biasa!
Berbeda dengan sebelumnya, di awal 2021 saya betulan dapat kesempatan WFH meski hanya dua hari. Loh kenapa begitu? Saya sudah bertanya prosedur dan tata cara masuk kantor sebelum cuti dan tiga hari setelah kembali dari luar kota, diizinkan masuk. Lalu dipanggil yayasan, kemudian harus WFH. (skip add, cerita lengkap tabu untuk diberitakan)
Lucu memang, masuk dulu WFH kemudian... (Saya tetap memakai masker, jaga jarak, mencuci tangan pakai sabun.) Ngomong-ngomong, berikut ini enak tidak enaknya WFH.
Tak harus mengeluarkan motor. Meski hanya 5-7 menit dari rumah menuju kantor, tetap saja harus menyalakan mesin motor, mengeluarkan, lalu mengendarainya sampai ke sekolah. Harus menembus lalu lintas padat, berdamai dengan ratusan pengguna jalan lain dengan kepentingannya masing-masing. Harus ekstra sabar kalau di depan ada emak-emak yang jalannya stabil, sestabil nyala lampu sein yang tidak belok-belok.
Begitu WFH, saya tak harus mengeluarkan motor, apalagi menerabas lalu lintas padat. Nyalakan laptop, aktifkan hotspot pribadi, buka Classroom, join. Kerja.
Atasan formal, bawahnya kolor. Artinya lebih hemat pakaian. Karena yang masuk layar hanya separuh badan, yang penting pakaian atas formal: berkemeja, sisiran rapi. Tak perlu minyak wangi, tak harus melumasi rambut. Dan paling syahdu: pakai kolor! Hehe. Kalau mau, non-aktifkan saja kamera. Tapi itu bukan gaya pegawai berintegritas. #hasyah
Mantab toh, bayangkan kalau ke kantor harus pakai celana panjang, ikat pinggang, masih harus pakai sepatu dan kaos kaki... ribet!
Mau ngopi, makan sepuasnya bisa! Sebagai penikmat kopi, pantang bagi saya melewatkan 'si kental hitam panas'. Candu ini disebakan "penyakit" gampang ngantuk yang sering jadi penghambat dalam pekerjaan. Sering, kopi juga memberi inspirasi saat dibutuhkan kreatifitas.
Di kantor, tersedia galon dengan layanan air hangat. Tapi untuk menyeduh kopi bubuk tak cocok. Malah jadi bubur kopi setengah matang rasanya. Saat WFH mau ngopi bebas! Sudah begitu banyak camilan tersedia. Kerja serasa di kafe lah!
Mirip halnya gula yang memberi rasa manis tapi secara bersamaan bisa memicu diabetes, WFH juga punya sisi negatif.
Boros kuota. Kantong kami belum merestui untuk pasang wifi, padahal saya butuh koneksi internet stabil untuk masuk kantor daring. Jadilah data pribadi direlakan.
Saya mengatur pemakaian kuota 1 gb/ hari. Tujuannya untuk memberi batasan agar tidak 'berselancar' seharian, selain agar hemat. Saat WFH, saya harus terhubung dalam Google Classroom setidaknya 3 x 30 menit dengan kamera menyala. Datanglah notifikasi "Pemakaian paket data harian telah melewati batas. Opsi: berhenti atau lanjutkan"
Yah... mau bagaimana lagi. Urusan kerja lebih utama di atas segala-galanya, bukan?
Atmosfer di rumah: bikin ngantuk. Di balik semua kesenangan dalam WFH, ada dampak yang tidak baik, mustahil dielakkan. Ngantuk. Sofa nan empuk di ruangan sejuk (tanpa AC), membaca tulisan kecil-kecil di layar membuat kelopak mata berat mendadak, betapa pun sudah dicekoki kopi hitam. Rupanya efek si hitam hanya berlaku dua jam.
Kalau di kantor, rasa sungkan bisa membunuh ngantuk itu. Kalau sudah ngantuk parah, saya bisa jalan bolak-balik di koridor. Tak soal teman-teman saya kebingungan sekaligus takut kalau saya tidur berjalan. Tapi setelah itu, biasanya mata kembali ON, otak kembali berfungsi normal.
Begitulah pengalaman enak-tidak enak saat WFH versi saya. Anda punya pengalaman serupa?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H