Esoknya, pukul 03.00 kami bersiap, mandi cepat, keluarkan koper. Mobil tiba, sekitar tiga jam perjalanan sampai bandara Kualanamu.
Setelah melewati mesin x-ray, kami menuju loket labklinik. Antre. Istri di depan saya nomor 285, baru sampai nomor 150-an. Tahap 1 foto kopi KTP dan membayar, Rp. 200.000 (lebih murah Rp. 50.000 dibanding RS Tentara). Tahap dua, menunggu dipanggil ambil sampel. Hasil keluar 15 menit.
Tak lama, hasil saya dan istri keluar. Negatif. Puji Tuhan!
Di balik semua drama per-tes-an antigen ini, hasil negatif melenyapkan semua kekesalan. Syukur dan terima kasih kepada Tuhan.
Namun, beberapa hal menjadi refleksi. Tanggal 2 itu, jujur saya reaktif lalu membuat story di WA dan IG, menyebut akun @kemenkes.ri dengan judul "Pemerintah tidak Siap", saking sebelnya.
Datanglah "teguran" dari ibu rohani. Tidak ada satu pun pemerintah di dunia yang siap akan kondisi ini. Pembatasan kuota per hari (menurut obrolannya dengan salah satu nakes saat tes) bertujuan melindungi nakes dari kontak dengan orang berlebih. Masuk akal.
Tapi kenapa di Siantar hanya dua RS yang sedia? Bergantung pemda setempat. Nah kalau sudah begitu saya diam. Anda tahu, tak adil mengomparasi kebijakan di Sumatra dengan Jawa.
Saat di depan Rosyida itu istri bertemu dua temannya. Salah satu nyeletuk, "Kuota dibatasi supaya orang ndak liburan". "Kalau dibatasi kenapa ada penjualan tiket?", timpal istri. Wong Batak dilawan, hehe.
Mirip kecurigaan saya di awal, saat pemerintah membuat kebijakan harusnya siap dalam kondisi paling tidak siap, dengan segala instrumennya. Ingat korban meninggal akibat Corona banyak dari nakes? Hayo...
Persepsi saya, dengan pola kerja Jokowi, pemda harus berpacu, tambah gigi dalam menangani Corona, termasuk instrumen prasyarat penerbangan.
Kalau mau rakyat patuh, pemerintah harus lebih teguh. Menarik, dari pengalaman tes ini berlaku hukum alam, "Siapa Cepat, Dia Dapat".