Mohon tunggu...
Kraiswan
Kraiswan Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Siapa Cepat Dia Dapat, "Kompetisi" Tes Antigen

4 Januari 2021   18:21 Diperbarui: 5 Januari 2021   14:32 2137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Antrean pasien di RS Rasyida | KRIS WANTORO

Apakah pemerintah serius menangani COVID-19? Bisa ya, mungkin tidak.

Kalau serius, harusnya ada kemajuan. Nyatanya ada kebijakan yang kontradiksi. Mustahil menyenangkan semua pihak, setuju. Tapi, di sisi mana lebih banyak berpihak, rakyat atau korporasi (laboratorium klinik)?

Tanggal 22 Desember, sehari sebelum bapak ibuku kembali dari Medan ke Jawa Tengah, adikku mendapat info. Syarat terbaru melakukan penerbangan yakni surat keterangan tes antigen, akurasi yang lebih tinggi dibanding rapid antibodi, di bawah swab. (kompas.com)

Kalau tes antibodi (rapid) diambil sampel darah, tes antigen diambil kelenjar dalam hidung. Sedang tes swab, kelenjar hidung dan mulut, alat pengujinya lebih mahal sejalan biaya tes.

Proses tes bapak-ibuku lancar jaya, ibarat antre di pintu tol pun tidak. Hasil keluar dalam 60 menit. Biaya membengkak tak mengapa. Tugas rakyat mematuhi aturan kan? (Awas saja kalau ada yang menerima fee dari mekanisme ini!)

Sepekan berikut, Sabtu tanggal 2, gantian aku dan istri yang tes antigen. Dengan riang kami berangkat dari kampung ke Pematang Siantar, selow naik motor.

Untuk informasi, masa berlaku tes antigen 3x24 jam, tidak seperti antibodi, 14 hari. Supaya rakyat tidak berlama liburan.

Tiket kami Senin tanggal 4. Wajar tes Sabtu. Minggu mungkin tutup. Jumat kecepeten, kadaluwarsa.

Tiba-tiba... "Kapasitas tes hari ini habis" Wah, macam April mop, padahal masih hari kedua 2021. Di Siantar hanya dua RS yang siap melayani tes antigen, RS Tentara dan Rasyida, masing-masing berkapasitas 300 dan 200/hari.

Di RS Tentara, kami tiba pukul 11-an, sudah habis. Di Rasyida, juga habis. Solusi?

Menurut keterangan cetak di kaca kasir RS Tentara, pasien diharapkan kembali Senin, pukul 08.00. (Disebabkan banyak yang menuai kecewa, untuk menyenangkan pasien mungkin, salah satu petugas entah dengan otoritas apa mengedit dengan pena, pasien bisa kembali Minggu, pukul 08.00) Di Rasyida, yang antre sejak pukul 07.00 saja belum diambil sampel.

Lega? Mungkin. Tapi tidak sebelum berhasil tes. Kami cek di RS Tiara, hanya melayani rapid tes. Setelah diskusi dengan istri, kami pulang dengan tangan kosong. Esok akan kembali lebih awal!

Esok hari. Kami kesiangan, pukul 07.00 baru bangun. Hanya cuci muka, lalu meluncur ke Siantar. Teman istri sudah lebih dulu tiba, dimintai tolong mengambil antrean kami. Hasilnya, lab di RS Tentara tutup. (Kami cek langsung). Tidak tersedia alatnya. Well...

Beralih ke Rasyida (untungnya jarak antarfaskes dekat, cukup 10 menit dengan motor). Jangankan kami, teman istri yang datang awal pun tak dapat antrean. Ada yang dibelain datang pukup 04.00. Greget.

Besok kami berangkat. Dua faskes yang ready tak sanggup melayani. Ke Medan, yang lebih banyak faskes? Jarak dan akomodasinya tak masuk akal. Opsi terakhir, di bandara.

Antrean mengisi data di bandara Kualanamu | KRIS WANTORO
Antrean mengisi data di bandara Kualanamu | KRIS WANTORO

Pukul 21.17, eks-rekan guru japri, menanyakan dan menyatakan tes antigen di bandara habis. Mertuanya disarankan kembali lagi tanggal 15 (parah!), dan akhirnya ganti jadwal. Masalahnya, mau ganti di hari kapanpun kalau tiada fasilitas tes, sama wae. Drama macam apa ini?

Saya percaya Tuhan berdaulat penuh. Sehelai rambut pun takkan jatuh tanpa seizinNya. Tapi manusiawi saya mustahil disangkal. Khawatir.

Itu pun sudah diberkati, akomodasi ke bandara menumpang kerabat. Lebih hemat. Lumayan buat beli beras sebulan.

Saya mengajak istri bersaat teduh dan berdoa, memohon belas kasihan Tuhan. Jika Ia berkenan, semoga bisa tes di bandara. Paling buruk, ditunda penerbangannya supaya ada waktu untuk tes. Entah reschedule atau hangus. Artinya keluar biaya lagi. Dia pasti sediakan, entah dengan cara apa.

Kami sudah berusaha, dua kali pergi pulang Siantar, nihil. Peluang terakhir di bandara. Serahkan semua ke tangan Tuhan, kami segera beristirahat.

Esoknya, pukul 03.00 kami bersiap, mandi cepat, keluarkan koper. Mobil tiba, sekitar tiga jam perjalanan sampai bandara Kualanamu.

Setelah melewati mesin x-ray, kami menuju loket labklinik. Antre. Istri di depan saya nomor 285, baru sampai nomor 150-an. Tahap 1 foto kopi KTP dan membayar, Rp. 200.000 (lebih murah Rp. 50.000 dibanding RS Tentara). Tahap dua, menunggu dipanggil ambil sampel. Hasil keluar 15 menit.

Tak lama, hasil saya dan istri keluar. Negatif. Puji Tuhan!

Di balik semua drama per-tes-an antigen ini, hasil negatif melenyapkan semua kekesalan. Syukur dan terima kasih kepada Tuhan.

Namun, beberapa hal menjadi refleksi. Tanggal 2 itu, jujur saya reaktif lalu membuat story di WA dan IG, menyebut akun @kemenkes.ri dengan judul "Pemerintah tidak Siap", saking sebelnya.

Datanglah "teguran" dari ibu rohani. Tidak ada satu pun pemerintah di dunia yang siap akan kondisi ini. Pembatasan kuota per hari (menurut obrolannya dengan salah satu nakes saat tes) bertujuan melindungi nakes dari kontak dengan orang berlebih. Masuk akal.

Tapi kenapa di Siantar hanya dua RS yang sedia? Bergantung pemda setempat. Nah kalau sudah begitu saya diam. Anda tahu, tak adil mengomparasi kebijakan di Sumatra dengan Jawa.

Saat di depan Rosyida itu istri bertemu dua temannya. Salah satu nyeletuk, "Kuota dibatasi supaya orang ndak liburan". "Kalau dibatasi kenapa ada penjualan tiket?", timpal istri. Wong Batak dilawan, hehe.

Mirip kecurigaan saya di awal, saat pemerintah membuat kebijakan harusnya siap dalam kondisi paling tidak siap, dengan segala instrumennya. Ingat korban meninggal akibat Corona banyak dari nakes? Hayo...

Persepsi saya, dengan pola kerja Jokowi, pemda harus berpacu, tambah gigi dalam menangani Corona, termasuk instrumen prasyarat penerbangan.

Kalau mau rakyat patuh, pemerintah harus lebih teguh. Menarik, dari pengalaman tes ini berlaku hukum alam, "Siapa Cepat, Dia Dapat".

Pemerintah, jika hanya menunggu vaksin dan solusi dari negara lain; lambat! Rhenald Kasali dalam bukunya Disruption, kebijakan publik harus diperbarui sejajar irama zaman. Termasuk kebijakan protokol tes kesehatan, aplikasi halodoc, misalnya.

Kualanamu, 4 Januari 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun