Kali ini, kemeriahan dalam merayakan Natal harus ditahan. Kerumunan harus dihindari demi memutus rantai penularan virus Corona. Sedih, mungkin. Sepi, iya. Kurang meriah, pasti. Tapi,
sukacita sejati takkan dikendalikan oleh keadaan. Dalam pandemi virus sekalipun.
Sukacita sejati berarti dalam kondisi kenyang atu lapar, limpah atau kurang, sehat atau sakit, sepi atau meriah, bungah atau susah; sukacitanya tetap ada. Meski mungkin tak terdeteksi panca indra.
Ibaratnya, biar hari mendung sepanjang hari tak berarti mentari tak terbit. Penglihatan kita hanya terhalang awan pekat.
Sukacita versiku, bisa menikmati Natal bersama keluarga dan orang terkasih. Itu cukup. Lagi pula Bayi Suci juga datang dalam kesederhanaan, palungan di kandang domba. Lebih penting, Juruselamat hadir di hati kita, melahirkan kembali hidup kita. Itu lebih indah dibandingkan pesta.
2. Liburan bareng keluarga
Orang berjerih lelah agar api belanga terus menyala. Kalau bisa sesekali liburan, 'kan kebutuhan juga.
Liburan terakhirku dengan keluarga adalah saat SD. Program tabungan tahunan dasa wisma di kampung. Piknik rame-rame ke Pantai Parangtritis, dan bonbin Gembira Loka. Pulangnya mampir beli oleh-oleh di Malioboro. Itu pun sudah membahagiakan.
Makin bertambah usia kami, piknik pun hampir tak pernah. Sebagai gantinya aku jalan-jalan dengan teman-teman SMA dan kuliah.
Aku kangen piknik lagi dengan bapak ibu.