Para bapak dari keluarga dekat duduk di barisan utama, lalu kerabat dan para inang di barisan kedua ke belakang, termasuk calonku. Sepanjang acara otakku delay, karena MC berbicara dalam Bahasa Simalungun, tiada penerjemahku. Hanya satu dua poin aku bisa tangkap, pun menerka.
Prosesi pertama, salah satu tulang (baca: paman) menghantarkan ke tengah ruangan satu baki daging babi panggang yang sudah dipotong dan ditata (kepala di depan, ekor di belakang). Aku diminta membalik badan menghadap bapak mama. Oleh seorang abang aku didikte, dan dibantu abang-tulang yang lain kami memegang baki tadi untuk diserahkan pada bapak mama.
"Pak, Ma, ini ada sedikit oleh-oleh dariku. Terima kasih sudah menerimaku dalam keluarga ini," kataku menirukan abang. Spontan, grogi. Mana calonku tidak memberi aba-aba, pun dia belum tentu tahu prosesi begini.
Balasannya, bapak mama memberiku sepiring olahan daging (sang-sang) yang sudah diatur di balik potongan daun pisang. "Ini makanan dari bapak mama buat kamu, makanan yang ditata rapi supaya rumah tanggamu kelak baik-baik ya."
Prosesi yang penuh nilai, bukan?
MC mengambil alih, sejurus kemudian dari kresek hitam mama mengeluarkan sarung warna merah cerah. Rapi terlipat dan berlabel. Dibukanya sarung, dibentangkan pada badannya, lalu dibantu bapak dikalungkan padaku agar berjalan mengikuti mama. Aku digendong mama.
Aku sudah menjadi anak mama, keluarga Sumbayak. Seperti halnya ibu menggendong anaknya yang masih kecil. Setelahnya mama keluar dari sarung, sedang aku tinggal. Sarungku yang lama ditanggalkan, ganti sarung pemberian mama. Terima kasih ya, Ma!
MC melanjutkan. Dari atas tikar pandan bapak mama berpindah menghadap padaku. Kedua kakak perempuanku (dua abang di Jakarta tidak bisa datang) mengapitku beserta suami dan anak-anaknya. Kepada kami ditumpangkan kain ulos di punggung.