Mohon tunggu...
Kraiswan
Kraiswan Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dia yang Tak Sekolah, jadi Guru Pertamaku

7 Desember 2020   13:11 Diperbarui: 7 Desember 2020   13:14 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bapak, saya, adik, ibu | dokumentasi pribadi

"Hidup itu berputar seperti roda, ada senang dan susah. Kalau mau senang-senang sekarang, besok nemu susah, dan sebaliknya. Mau pilih yang mana?"

Memangnya aku bisa bersenang-senang waktu itu?

Suatu hari di bawah terik dengan payah aku menyejajari langkah ibu, merambah tiap jengkal Jalan Cungkup. Pegal lutut berteman sengatan sinar menembus payung di balik tangan rampingnya. Keluhan anak SD dibalas petuah di atas.

Sejurus dengan kami berlalu, menghambur kumpulan anak sekolahan berkostum putih abu-abu. Dijadikannya mereka "alat peraga" ibu, kalau mau sekolah yang tinggi harus belajar dengan tekun. Mungkin ibu mau bilang, Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian...

Disandingkan dengan sebagian tetangga atau kerabat, kondisi bapak ibu terbilang ala kadarnya jika bukan pas-pasan. Pas butuh, pas ada. Pas ada, ada yang dibagi ke yang lain.

Syukurnya, mereka hidup di desa. Masak sayur tinggal petik. Habis beras, singkong dan ubi pun jadi. Air melimpah, kayu bakar tumpah-ruah. Hidup di desa tak akan kelaparan meski terkadang, ya itu tadi, pas-pasan.

Saya dan ibu | dokumentasi pribadi
Saya dan ibu | dokumentasi pribadi

Kapasitas ingatanku tak mampu menjangkau hal pertama yang aku pelajari dari ibu. Tapi, berikut tiga pengalaman paling tak tergoyahkan tentang ibu, guru pertama hidupku.

1. Mengalasi segala usaha dengan berdoa

Di waktu ku masih kecil, gembira dan senang | Tiada duka kukenal, tak kunjung mengerang | Di sore hari nan sepi, ibuku bertelut | Sujud berdoa kudengar namaku disebut || Di doa ibuku, namaku disebut | Di doa ibuku dengar, ada namaku disebut

Penggalan lagu Natashia Nikita itu mengingatkanku, sekalipun tak pernah diminta, meski aku lupa mengerjakan; ibu pasti mendoakanku. Ibu tak cakap bicara, mengajari doa buat dihafal boro-boro. Soalnya ibu tak pernah kenal bangku kelas. Tapi dalam "kelimpahan" itu, ibu mengingatku dalam doanya. Bukti bahwa dalam keterbatasannya, ibu tahu ke mana harus membelakan perkaraku.

Doa juga jadi pengakuan, orang tuaku yang terbatas mustahil menyelesaikan semua persoalanku. Tentang pelajaran di sekolah, barang keinginan, cita-cita, bahkan kelak dalam memilih pasangan hidup. Tapi ibu mengajari, ada tangan lebih berkuasa menolong melewati setiap musim hidup. "Berdoa, minta kepada Tuhan, pasti Dia menolong", begitu ibu mendorong.

Kebiasaan doa memancarkan hidup jujur. Dari yang paling sepele saja. Misal ada uang di meja, tidak boleh diambil atau dipakai jajan sebelum diberikan. Kalaupun kebelet, harus bilang. Tidak boleh mencuri. Harus jujur!

Itulah yang menolongku untuk tidak berkompromi dengan korupsi, sekecil apa pun. Tak perlu pandai setinggi langit, yang lebih penting jujur! Jangan ambil sesuatu yang bukan milik.

Bapak, saya, adik, ibu | dokumentasi pribadi
Bapak, saya, adik, ibu | dokumentasi pribadi

Tak mengapa ibunya tak pernah mengenyam sekolah, syukur anaknya lulus sekolah

2. Jangan menyakiti anak orang

Tidak seorang pun mau disakiti, maka jangan sekali-kali menyakiti.

Dalam banyak urusan aku terbilang payah, tapi tak sudi menyerah. Olahraga, musik, akademis; lewat! Maksudnya tak menonjol satu pun, termasuk asmara. Naksir lawan jenis adalah wajar. Ditolak berulang serta diremehkan juga biasa. Meski sering sakit hati, tak ada niatan balas dendam.

Ibu tahu bahwa jiwa mudaku merana. Supaya tidak kebablasan, ia pun berpetuah. "Kamu kalau suka perempuan jangan disakiti ya. Orang tuanya menyekolahkan sungguh-sungguh biar berhasil, kelak membanggakan orang tua. Kamu juga punya adik perempuan. Bayangkan kalau adikmu disakiti orang lain, apa ndak kasihan sama ibu?"

Pesan tersebut cukup menolong agar aku tak ke luar "pagar". Sedang di sekitar kami, hal itu dianggap lumrah.

Tanpa guru, kutak tahu jadi apa hari ini. Tapi tanpa ibu, kutak mungkin hadir di Bumi

3. Terus bergerak agar bertahan hidup

Ora ubet, ora ngliwet. Filosofi Jawa yang artinya kurang lebih: Kalau tidak bekerja, tak bisa makan.

Filosofi itu terus ibu hidupi dan teruskan padaku. Orang tua ibu lebih nelangsa karena harus menghidupi enam gadis. Sedangkan orang tua bapak lumayan berada dengan tanggungan dua laki dan satu perempuan.

Atas kenyataan itu, ibu tidak bisa mengandalkan peninggalan materi orang tuanya. Mengklaim milik mertua, o, tidak mungkin dilakukannya. Pernah, ibu ditanya ayah mertua yang intinya, apakah ibu tidak diberi warisan barang sedikit.

SAKIT. Tak disangkanya "duri" dihantamkan ke relung hati oleh orang terdekat. Oleh karenanya, ibu juga mengajariku untuk tidak mengandalkan materi orang tua. "Kamu sudah disekolahkan sampai tinggi, kalau bisa mandiri, raih impian dengan keringat sendiri. Harus bekerja keras." Itu yang membentuk jati diri dan identitas, sebagai anak ibu.

Ilmu dan pengetahuan biar diajarkan oleh guru. Jati diri dan identitas bagian ibu

***

Indikator kesuksesan orang tua mendidik anaknya tidak mampu diukur dengan gelar, tingkat prestasi, apalagi jumlah materi. Bagi kebanyakan, mungkin ya. Bagiku, mewakili kebanggan orang tuaku, kesuksesan mereka mendidikku adalah memilih pasangan hidup dengan kriteria minimal seperti mereka, yang punya prinsip dan prioritas hidup.

Aku sebagai anak laki-laki yang telah mengalami hangat serta kuatnya kasih seorang ibu, akan mencari pasangan hidup minimal sekaliber ibu. Syukur jika ada yang lebih. Aku tidak mendamba salinan ibu tentu saja. Namun keteladanan dan semangat hidupnya menginspirasiku. Kelak, anak-anakku juga bakal (harus) lebih baik dariku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun