"Di kantor kejaksaan, mas. Samping Puri Asih (rumah sakit). Langsung bayar denda...", arahan seorang bapak berkemeja, masker membungkus separuh muka, thermogun dan secangkir kopi di kedua tangan pada pemuda labil salah alamat. Biasanya di sini kok, batin pemuda.
Bukan sekali dua, pemuda ini harus berurusan dengan petugas keamanan. Berkendara tiada SIM, memboncengkan teman tanpa helm, paling sering tanpa SIM, tak punya SIM, belum punya SIM. Terakhir, melawan arah.
***
Suatu siang, seorang pemuda mengambil jalur becak demi menyingkat waktu dan jarak menuju kompleks pertokoan di pasar, cuma mau membeli cincin mainan. Ternyata ada polisi bertugas, operasi penertiban lalu lintas. Zaman lagi susah begini... apes di siang bolong.
Profesi polisi butuh keterampilan ramah dan multi tasking. Tidak percaya? Mau nilang saja mereka hormat, sopan menyapa si pemuda. Surat lengkap? Aman. Bisa baca rambu? Bisa dong. Kenapa lawan arus? Diam.
Baca juga: Tidak Semua Polisi Baik, Tapi Masih Ada
Harga cincin mainan tak seberapa, bayar tilangnya bikin geleng kepala.
Maklum jika pelanggar masih mahasiswa, pikirannya cupet. Pemuda ini sudah kerja, sosok panutan pula. Malah melanggar aturan. Memalukan. Mencemarkan nama lurah. Mencoreng kehidupan etika bermasyarakat.
Kejadian pemuda itu sekaligus pembuktian hukum alam, tiada manusia yang luput dari salah. Meski sudah diingatkan dan dibebaskan dari denda, masih ngeyel. Ya sudah, terima nasib.
Mau pandemi, biar virus bertebaran, jumlah kasus masih menanjak; pelanggaran tetap salah. Lawan arus ialah tidak taat. Sanksi diterapkan. Denda perlu dibayarkan.
Di gedung kejaksaan, protokol standar berlaku. Ada petugas menodongkan thermogun untuk mengecek suhu. Wastafel dan sabun untuk cuci tangan, wajib pakai masker. "Silahkan ditunggu, nanti dipanggil sesuai nama", petugas lain menjelaskan sambil menghimpun surat tilang para terdakwa.