Mohon tunggu...
Kraiswan
Kraiswan Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Gegara Jokowi, Aku Direpotkan di Bank Swasta

13 Agustus 2020   15:48 Diperbarui: 15 Agustus 2020   11:22 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keterangan di ruang tunggu, foto: dokpri

Area parkir padat, meski tak penuh. Lebih banyak motor mengisi dibanding mobil. Banyak kursi disediakan di ruang tunggu. Bersedia petugas di pos masing-masing, menegakkan protokol kesehatan.

Siang ini aku menemani ibu membuat rekening. Di bank swasta. Menurut pengalaman, soal administrasi aku berpihak pada mereka.

Pernah, aku membuka rekening di bank milik pemerintah. Hanya mendaftar rekening lho ya, mengantri sampai empat jam. Anda tidak salah baca, EMPAT JAM. Padahal tak lebih seluruh jari tanganku pengantri kala itu.

Sejatinya, buruh seperti ibuku tak memerlukan rekening. Mau bagaimana, sebelum mampir ATM, gajinya sudah raib di balik tuntutan hidup.

"Gara-gara" Jokowi, ibuku harus direpotkan hal rekening ini. Aku pun kecipratan.

Melansir kompas.com, pemerintah membentuk Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional berdasarkan peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2020 yang diteken Presiden Jokowi pada Senin (20/7/2020) kemarin.

Erick Thohir selaku Ketua Pelaksana Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional mengatakan stimulus ekonomi yang diberikan pemerintah berupa dana Rp. 600.000 selama empat bulan pada pegawai non-PNS dan BUMN yang aktif terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan dengan iuran Rp. 150.000 per bulan.

Ibuku masuk kriteria. Jadi harus membuat rekening atas nama pribadi guna penyaluran bantuan. Para tikus gigit jari.

Yang aku suka dari Jokowi, selepas "mencak-mencak" kapan lalu, dia cekatan membuat strategi konkret untuk mengurangi derita rakyat. Meski banyak kelemahan lain Jokowi, seperti manusia kebanyakan, satu kreditku untuknya. Dia bukan pemimpin omdo (omong doang).

Kembali ke bank swasta. Semenjak pandemi aku tak pernah ke bank. Tiada hukum yang mengharuskan. Lagi pula transaksi terselesaikan via mesin ATM dan m-banking.

Sekali ini aku mengantar ibu, rupanya ribet tiada kira.

Mempercayakan motor di tempat parkir, aku dan ibu menaiki tangga bangunan bank.

"Namanya siapa mas?... Keperluannya apa?...", ramah sang sekuriti menginterogasi. Didaftarnya namaku dalam antrian. Terdapat dua baris bangku di kiri-kanan muka pintu kaca selepas tangga. (Kursi besi panjang untuk empat orang, dilapis busa. Swasta memang beda)

Tercantum "maksimum 4 nasabah". Berarti di ruang tunggu itu hanya mampu menampung 8 orang. Lainnya? Bekas bilik mesin ATM berkonstruksi segi 8 disulap jadi ruang tunggu tambahan. Aku dan ibu di urutan ke sembilan, maka di ruang segi 8 itu kami menunggu.

"Silahkan tunggu di bawah ya mas, nanti kami panggil", masih ramah. Tak sampai dua menit, panggilan datang.

Thermogun disodorkan ke wajah, lolos. Dua petugas kebersihan tegap di balik pintu kaca membukakan pintu, bersiap dengan SPD (Senjata Pelindung Diri)-nya: semprotan disinfektan dan kanebo.

Sekuriti lapis kedua. "Permisi mas, ada yang bisa dibantu?" Kujelaskan, mau membuat rekening baru. Baru saja nomor antrian berpindah tangan, ibuku dicegat. "Yang mau bertransaksi masnya atau ibunya?" Wah, mau buka rekening saja kok diepotkan.

Aku dipersilahkan mengisi bangku ruang tunggu. Wah, gawat. Kenapa aku tak diizinkan membantu ibu? Kenapa mereka menghalangiku?

Bukan apa-apa, tapi ibuku buta huruf. Aku tahu prosedur membuat rekening. Harus isi data diri, tanda tangan dan banyak lagi. Belum lagi membuat nomor PIN. Ibuku mana bisa?

"Ibunya saja yang masuk, mas. Nanti biar dibantu teller-nya. Masnya boleh menunggu di luar, nanti kalau ada pertanyaan kami panggil."

Ibu pasti cemas. Dia bakal grogi, dan mungkin malu karena buta. Aku ikut panik. Inilah saatnya ibu "sekolah". Setahuku, pelayanan mereka juga baik. Aku tak perlu khawatir pada ibu.

Tapi bayangkan repotnya mbak teller harus membacakan puluhan daftar polis bagi ibu. "Nanti lengkapnya dibaca di web ya, mas", kata Mbak Debby.

Poinnya? Menekan kerumunan. Kurasa bank swasta ini peduli pada keselamatan bersama. Tidak ngasal seperti kejadian berita-berita di tivi. Entah bagaimana di bank negeri. Entah seperti apa di tempat publik lainnya.

Adakah anda berpengalaman serupa?

Salam,

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun