Mempercayakan motor di tempat parkir, aku dan ibu menaiki tangga bangunan bank.
"Namanya siapa mas?... Keperluannya apa?...", ramah sang sekuriti menginterogasi. Didaftarnya namaku dalam antrian. Terdapat dua baris bangku di kiri-kanan muka pintu kaca selepas tangga. (Kursi besi panjang untuk empat orang, dilapis busa. Swasta memang beda)
Tercantum "maksimum 4 nasabah". Berarti di ruang tunggu itu hanya mampu menampung 8 orang. Lainnya? Bekas bilik mesin ATM berkonstruksi segi 8 disulap jadi ruang tunggu tambahan. Aku dan ibu di urutan ke sembilan, maka di ruang segi 8 itu kami menunggu.
"Silahkan tunggu di bawah ya mas, nanti kami panggil", masih ramah. Tak sampai dua menit, panggilan datang.
Thermogun disodorkan ke wajah, lolos. Dua petugas kebersihan tegap di balik pintu kaca membukakan pintu, bersiap dengan SPD (Senjata Pelindung Diri)-nya: semprotan disinfektan dan kanebo.
Sekuriti lapis kedua. "Permisi mas, ada yang bisa dibantu?" Kujelaskan, mau membuat rekening baru. Baru saja nomor antrian berpindah tangan, ibuku dicegat. "Yang mau bertransaksi masnya atau ibunya?" Wah, mau buka rekening saja kok diepotkan.
Aku dipersilahkan mengisi bangku ruang tunggu. Wah, gawat. Kenapa aku tak diizinkan membantu ibu? Kenapa mereka menghalangiku?
Bukan apa-apa, tapi ibuku buta huruf. Aku tahu prosedur membuat rekening. Harus isi data diri, tanda tangan dan banyak lagi. Belum lagi membuat nomor PIN. Ibuku mana bisa?
"Ibunya saja yang masuk, mas. Nanti biar dibantu teller-nya. Masnya boleh menunggu di luar, nanti kalau ada pertanyaan kami panggil."
Ibu pasti cemas. Dia bakal grogi, dan mungkin malu karena buta. Aku ikut panik. Inilah saatnya ibu "sekolah". Setahuku, pelayanan mereka juga baik. Aku tak perlu khawatir pada ibu.