"Saya harus ngomong apa adanya. Nggak ada progres, yang signifikan nggak ada."
Setelah beberapa waktu lalu pemerintah diam perihal sosialisasi kewajaran baru (New Normal), beredarlah video Presiden Jokowi memberi arahan pada kabinetnya (18/06). Tak hanya karena melontarkan kosakata asing, video tersebut viral karena presiden geram.
Perlukah presiden marah-marah di tengah kondisi krisis? Bahkan, bisakah Jokowi marah? Tiga bulan ke belakang dan ke depan Indonesia masih dalam kondisi krisis, iya. Orang sudah tahu. Tapi kenapa harus marah, pak presiden?
Saya teringat perkataan ibu saya saat beliau difitnah teman kerjanya, "Semut wae neg diidak nyokot. Opo maneh manungso." (Semut saja kalau diinjak menggigit. Apalagi manusia.) Semut Bulldog misalnya, gigitannya mengandung bisa yang menyebabkan kematian. Jokowi, "lebih berbahaya" dari semut.
"Saya lihat masih banyak, kita ini yang seperti biasa-biasa saja. Saya jengkelnya di situ! Ini apa nggak punya perasaan, suasana ini krisis." Beliau berang karena orang yang diberi kepercayaan tidak bisa dipercaya. Tidak peka. Tak punya perasaan.
Apakah marahnya Jokowi terlambat, sedang kondisi ini sudah extraordinary crisis? Satu semester lebih dari cukup untuk para menteri unjuk gigi. Sayang, presiden "menuai angin".
Kelambanan para menteri menangani krisis diibaratkan, "Tiongkok dan Jepang sudah menerapkan kereta maglev, kita masih kereta uap. Kereta kuda malahan." Begitulah kalau tidak satu rasa, tidak punya sense of crisis dalam situasi extraordinary. Tidak ada progres, kata presiden.
"Kita" masih betah memakai cara-cara lama. Itu artinya takkan pernah memayungi 267 juta penduduk Indonesia. Kapan dan menunggu kondisi yang bagaimana baru kita akan belajar?
Pada kesempatan sebelumnya, Jokowi masih bisa melindungi menterinya. Dia percaya pada orang yang dipilihnya. Lagi, Jokowi dibuat kecewa. Kali ini, beliau terang-terangan sampai meregangkan bibir---ekspresi nyeri dalam hatinya. Semua jadi tahu, dia merasakan apa yang dialami rakyat.
"Untuk pemulihan ekonomi nasional, misalnya saya beri contoh... Bidang kesehatan, dianggarkan Rp. 75 triliun. Rp. 75 triliuan, baru keluar 1,53% coba. Uang beredar di masyarakat ke-rem ke situ semua. Segera dikeluarkan dengan penggunaan-penggunaan yang tepat sasaran, sehingga men-trigger ekonomi."
Skak mat, Pak Menkes!
Kasihan Pak Terawan. Tapi sedikit untung, rasa malunya terlindungi masker. Sebentar, lho kok Pak Terawan pakai masker? Raibnya sang Menkes selama krisis juga menyisakan tanya abadi. Ke mana Menteri Terawan?
Ini justru jadi ajang menelanjangi diri, selama ini pemerintah belum serius mendukung penanganan virus Corona. Pembayaran tunjangan dokter, dokter spesialis, tenaga medis, pengadaan peralatan kesehatan; harus segera dikeluarkan.
"Saya harus ngomong apa adanya. Nggak ada progres, yang signifikan nggak ada... Meski sudah lumayan, tapi baru lumayan. Ini extraordinary, harusnya 100%." "Lumayan", bukanlah standar Jokowi.
Beralih ke menteri ekonomi. "Duit serupiah pun belum masuk ke stimulus ekonomi kita." What...? Pak presiden tidak salah data, kan? Jangan-jangan datanya dari periode lalu? Dinas sosial apa kabar?
Kesungguhan Jokowi jelas dari hal-hal berikut. Kalau diperlukan Perpu, Perpres dia akan keluarkan. Para menteri, yang punya peraturan menteri juga boleh mengeluarkan.
Bisa saja Jokowi membubarkan lembaga, bisa saja reshuffle, entah membuat Perpu yang lebih penting lagi. "Suasana krisis ini, harus ada (diresapi, red). Kalau suasana ini bapak ibu tidak merasakan itu, sudah... (mengangkat kedua tangan). Tindakan-tindakan extraordinary keras akan saya lakukan." Harus satu rasa, satu saja beda, ambyar!
Jokowi tidak ragu mengeluarkan kalimat yang bisa membahayakan diri, "Asal untuk rakyat, asal untuk negara, saya pertaruhkan reputasi politik saya." Hal ini justru membuktikan Jokowi sudah selesai dengan dirinya, tidak punya hutang dengan siapa pun.
Kalau kinerja pemerintah lambat, bagaimana rakyat bisa selamat? Menutup pengarahannya, Jokowi berpesan agar menterinya kerja keras, kerja cepat dan bertindak di luar standar sangat diperlukan dalam manajemen krisis seperti saat ini.
Yang terhormat bapak/ibu menteri, kami rakyat masih menanti. Sebelum "gigitan" Jokowi terjadi, bersikaplah ksatria. Kerja secara extraordinary atau balik kanan dengan hormat diri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H