Pihak pelatih menawarkan jasa pembuatan SIM A. "Rp. 450.000, bersih". Namun karena KTP saya belum "Seumur hidup", mereka tidak bisa membantu. "Pihak Poltas maunya yang seumur hidup, mas" Nekat, saya urus sendiri ke Poltas Salatiga. Ternyata pihak kursus tidak bohong.
Di kantor kelurahan. Padahal kata pengumuman di kelurahan, kalau sudah elektronik abaikan saja masa berlakunya, itu sudah dianggap seumur hidup. Merepotkan.
Singkat cerita, setelah berkalikong-tanpa-suap dengan petugas kecamatan yang kekeuh bahannya habis, tidak sampai satu jam, saya dapat KTP baru. Segera mendaftar ke loket Poltas, tes teori, lalu praktik. Anehnya, saya diajak ke satu ruangan, hanya saya dan anggota polisi itu. Isi bualannya berujung pada "Kamu tahunya harganya berapa, mas?" Setelah hitung-hitungan cara bodo, "Empat ratus pak". Sepakat. What...? Setidaknya lebih murah lima puluh ribu dari pihak kursus.
Saya tidak mengerti kenapa masih ada jalur begituan di era demokrasi ini. "Bayar saja mas, cepet. Dari pada tes berkali-kali, dipersulit nanti", dikisahkan seorang warga yang bareng saya.Â
"Di Salatiga ini paling murah lho mas, di daerah Semarang bisa tujuh ratusan", curhat seorang bapak. O, berarti sudah dari sononya. Saya tak ingin menyusahkan hidup yang sudah susah. Daripada nanti ketilang lagi gegara tidak punya SIM, ya kan?
Karena ada yang jaga. Pengalaman ini terjadi tahun 2019. Ceritanya, sepulang ngantor saya mau membeli perlengkapan untuk murid-murid di satu toko buku. Lokasinya relatif dekat dari sekolah, tapi harus memutar karena jalur searah. Daripada repot, saya ambil jalur pasar dan menepi di jalur becak (lihat peta). Praktis. Dengan pikiran sepenuhnya positif, saya melaju. Tiba-tiba...
 "Sore mas. Mau ke mana ini? Bisa ke kantor sebentar" Mateng. Pak, belum gajian pak, jerit saya. "Duduk di sini dulu ya, mas. Tunggu dulu, itu masih ada orang". Saya siapkan surat-surat sebelum diminta. Punya SIM sekarang!
"Mas tahu apa salahnya?" Ketemu kamu pak, itu salahnya. Dijabarkannya, aku melanggar jalur searah. Aku ngotot, karena hanya mengambil sedikit jalur becak. Biasanya juga tidak apa-apa. Ndelalah kok ya tidak ada pemotor melintas saat itu. "Ya biasanya tidak apa-apa mas, kalau tidak ada polisi". OK, besok aku lewatnya kalau tidak ada polisi.
Malu sejadinya. Meski sudah punya SIM masih saja melanggar aturan. Apalagi saat menjawab profesi sebagai guru. Tak bisa digugu. Merendahkan martabat Ki Hadjar. Mencemarkan kementerian pendidikan.
Setelah saling menjelaskan, "Ya sudah mas, jangan diulangi ya. Pulangnya hati-hati" Tak ada tilangan, tak ada denda.