Jika dilahirkan ulang saya memilih tak jadi polisi. Bukan apa-apa, "Bobot badan kurang", jadi satu dari banyak prasyarat tak rela terpenuhi, hehe.
Jadi polisi itu tak enak. Gajinya tak seberapa, penuh risiko dan sering dipaido (tidak dipercaya) pula. Masih ingat kisah polisi dengan jargon "Masuk, Pak Eko!"---yang hidup sederhana, atau Bripka Seladi---polisi yang nyambi mulung sampah demi mencukupi nafkah. Susah kan, jadi polisi...
Kisah terbaru tentang polisi, Ismail pemuda di Sula, Maluku Utara ditangkap polisi karena mengunggah pernyataan Presiden keempat, Abdurahman Wahid, tentang "tiga polisi jujur". Tiga putri Gus Dur malah "nyentil" pihak kepolisian di media sosial. Gitu aja kok repot!
Mungkin banyak pihak jadi sensi semenjak sidang putusan tersangka penganiayaan Novel Baswedan. Menyoal tentang polisi, saya punya beberapa pengalaman unik. Semoga saya tidak ditangkap karena menulis ini, hihi...
Itu tidak bawa helm kok tidak ditangkap? Terjadi kira-kira 2014. Saya memboncengkan teman cowok pulang kuliah, hendak ke kosnya di daerah Bugel, arah utara dari kampus. Di pertigaan Kauman, terdapatlah lampu merah, di ujung sana bertengger pos jaga polisi.
Lampu merah. Tetiba seorang anggota polisi dengan motor cowok, merek *kalajengking* dicat putih (saya sampai terkenang), berhenti di samping kami, mencabut kontak motor saya dari lubangnya. Saya diminta ke pos. Wah, apanya yang pelayan masyarakat? Saya kudu mendorong motor ke pos itu. Meski hanya sepuluh meter, butuh tenaga juga, bos! Inilah pengalaman ke sekian saya langganan kena tilang. Tak punya SIM.
"Boleh tunjukkan surat-suratnya, dek?" STNK, KTP, KTM (Kartu Tanda Mahasiswa). "SIM-nya mana?" Saya balas, "Belum buat pak". Dicatatlah dua pasal buat saya. Memboncengkan teman yang tidak memakai helm, tanpa SIM.Â
Waktu pak polisi menulis surat pink, melesatlah manusia tanpa dosa di depan kami. "Lha itu tidak pakai helm tidak ditilang, pak" Seperti orang baru bangun tidur, tenang polisi menjawab, "Yang satu dulu diurus. Yang ini belum diurus, bagaimana mau mengurus yang lain"
Asam! Mahasiswa tadi berhutang pada saya. Kalau teman saya bawa helm, dia yang harusnya masuk kantor ini.
Setahu kamu, (biayanya) berapa? Tahun 2016 saya sudah bekerja di Surabaya. Penghasilan lumayan, punya tabungan. Merasa perlu mengembangkan diri dengan bermacam keahlian, salah satunya menyetir mobil. Setelah tujuh kali pertemuan---yang di-"katalis" jadi enam---saya dapat sertifikat. LULUS. Sekalian buat SIM A, dong.
Pihak pelatih menawarkan jasa pembuatan SIM A. "Rp. 450.000, bersih". Namun karena KTP saya belum "Seumur hidup", mereka tidak bisa membantu. "Pihak Poltas maunya yang seumur hidup, mas" Nekat, saya urus sendiri ke Poltas Salatiga. Ternyata pihak kursus tidak bohong.
Di kantor kelurahan. Padahal kata pengumuman di kelurahan, kalau sudah elektronik abaikan saja masa berlakunya, itu sudah dianggap seumur hidup. Merepotkan.
Singkat cerita, setelah berkalikong-tanpa-suap dengan petugas kecamatan yang kekeuh bahannya habis, tidak sampai satu jam, saya dapat KTP baru. Segera mendaftar ke loket Poltas, tes teori, lalu praktik. Anehnya, saya diajak ke satu ruangan, hanya saya dan anggota polisi itu. Isi bualannya berujung pada "Kamu tahunya harganya berapa, mas?" Setelah hitung-hitungan cara bodo, "Empat ratus pak". Sepakat. What...? Setidaknya lebih murah lima puluh ribu dari pihak kursus.
Saya tidak mengerti kenapa masih ada jalur begituan di era demokrasi ini. "Bayar saja mas, cepet. Dari pada tes berkali-kali, dipersulit nanti", dikisahkan seorang warga yang bareng saya.Â
"Di Salatiga ini paling murah lho mas, di daerah Semarang bisa tujuh ratusan", curhat seorang bapak. O, berarti sudah dari sononya. Saya tak ingin menyusahkan hidup yang sudah susah. Daripada nanti ketilang lagi gegara tidak punya SIM, ya kan?
Karena ada yang jaga. Pengalaman ini terjadi tahun 2019. Ceritanya, sepulang ngantor saya mau membeli perlengkapan untuk murid-murid di satu toko buku. Lokasinya relatif dekat dari sekolah, tapi harus memutar karena jalur searah. Daripada repot, saya ambil jalur pasar dan menepi di jalur becak (lihat peta). Praktis. Dengan pikiran sepenuhnya positif, saya melaju. Tiba-tiba...
 "Sore mas. Mau ke mana ini? Bisa ke kantor sebentar" Mateng. Pak, belum gajian pak, jerit saya. "Duduk di sini dulu ya, mas. Tunggu dulu, itu masih ada orang". Saya siapkan surat-surat sebelum diminta. Punya SIM sekarang!
"Mas tahu apa salahnya?" Ketemu kamu pak, itu salahnya. Dijabarkannya, aku melanggar jalur searah. Aku ngotot, karena hanya mengambil sedikit jalur becak. Biasanya juga tidak apa-apa. Ndelalah kok ya tidak ada pemotor melintas saat itu. "Ya biasanya tidak apa-apa mas, kalau tidak ada polisi". OK, besok aku lewatnya kalau tidak ada polisi.
Malu sejadinya. Meski sudah punya SIM masih saja melanggar aturan. Apalagi saat menjawab profesi sebagai guru. Tak bisa digugu. Merendahkan martabat Ki Hadjar. Mencemarkan kementerian pendidikan.
Setelah saling menjelaskan, "Ya sudah mas, jangan diulangi ya. Pulangnya hati-hati" Tak ada tilangan, tak ada denda.
Demikian pengalaman saya. Sejauh ini tidak saya temui oknum yang korup. Saya yakin, masih banyak "Hoegeng" di negeri ini. Dengan ini, saya mengapresiasi setiap polisi yang menjalankan amanah.
Salam,
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI