"Silahkan doa pribadi sebelum mengerjakan." | "Fifteen minutes later!" | "Silahkan kumpulkan dalam posisi tertutup ke bangku sebelah kanan." ... Demikian instruksi yang sudah dihafal murid-murid saya di musim tes. Tapi itu dulu...
Awal April---sebulan sudah para emak jadi guru di rumah---kami membahas tes kenaikan, Penilaian Akhir Tahun (PAT), yang bakal digelar online. Anak SD tes online, yakin?
Disepakati bahwa perangkat tes disajikan melalui platform populer Google Classroom. Bentuk soal pilihan ganda, jumlahnya 30 untuk kelas besar, dan 25 untuk kelas kecil. Inilah kali pertama dalam sejarah, ujian kenaikan kelas secara online!
Banyak rekan guru bingung, bagaimana sekolah mengontrol pelaksanaan tes? Dari pembelajaran online sebelumnya, masih ada anak dan orang tua kesulitan, "submit" lebih dari sekali karena takut belum masuk. Lagi pula tidak semua murid punya fasilitas HP pribadi, jadi harus menunggu orang tua pulang bekerja. (sekolah swasta lho ini)
Bagaimana kalau murid tidak jujur saat mengerjakan? "Konsekuensi. Sekaligus ujian bagi orang tua bagaimana mereka membentuk anaknya", jelas wakasek. Dalam kondisi ini, standar pencapaiannya takkan sama seperti sebelumnya.
Ujian boleh online, tapi kejujuran adalah "barang kuno". Banyak orang rela menukarnya demi nilai bagus. Di Indonesia, orang tua kebanyakan menaruh standar prestis pada rapor anak. Mau pandemi kek, mau normal; angka rapor berarti segalanya.
Himbauan pemerintah dinas pendidikan, proses belajar di tengah pandemi tidak menuntut capaian kurikulum. "Yang penting ada pembelajaran dilakukan siswa".
Terkait tes, dikembalikan sekolah masing-masing, mau mengadakan tes atau tidak, karena kriteria kenaikan kelas dipatok dengan nilai rapor. Nah, kami sekolah swasta, harus menjunjung tinggi standar kualitas. Untuk itulah kami dibayar.
Tibalah waktu ujian. Link soal tes diberikan melalui grup WA, kesempatan mengerjakan dari pukul 08.00-23.59 WIB, meski panduan berbunyi "Waktu pengerjaan 120 menit". Ini kebijakan untuk murid yang orang tuanya baru pulang sore atau malam. Sekaligus jadi "durian runtuh" bagi mereka yang ingin unggul.
Mata pelajaran hari pertama, Pendidikan Agama. Mapel ini bersifat teori, kurang dari 30 menit mereka "Done". Murid yang lebih pro, hanya perlu 15 menit! Hebat, canggih. Mereka bermasalah saat "melahap" Tematik, Matematika dan Sains.
Ada yang tak sampai sejam selesai. Ada yang mengeluh karena gambarnya tidak keluar. Ada yang hampir magrib baru nongol. Ada yang sampai jam 20.00 WIB tak sadar ada tes. Mungkin melihat dulu semua soal, mencatat, lalu membuka buku baru mengerjakan. Aih, be positive, please!
Kejujuran bukan genetis. Ia perlu dilatih, dihadapkan pada "salah" dan "benar, "baik" dan "jahat". Berikutnya dia harus memilih, menjadi diri sendiri, atau orang lain.
--kraiswan
Saya adakan analisis sederhana bersama rekan. Rombong murid yang saat di kelas banyak omong, tidak mudengan, doyan remidi; pas tes online nilainya di atas 80 (hampir di semua mapel). Sedang murid yang cemerlang, skornya di bawah rombong pertama. Tes online menjungkirbalikkan tatanan kemampuan murid rupanya.
Masalahnya, tes itu mengukur pengetahuan atau kejujuran murid?
Ada tiga murid unik, semua perempuan. Murid pertama, Jc, lahir dan besar di Singapura, kemampuan Bahasa Indonesia di bawah teman-temannya, namun pengetahuannya luas, kritis.
Selama pembelajaran di kelas, dia sering bertanya karena penjelasan saya tidak jelas, atau ada frasa yang asing. Saya tahu dia jujur. Dari mana? "Mister, kenapa susah sekali?" Skor Tematik 70, pas KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal), dan itu wajar karena keterbatasan Berbahasa Indonesia.
Murid kedua, G. Diam-diam jago karate, meski posturnya kurus; sopan. G punya pengalaman tidak enak, disalahkan mamanya saat lomba renang karena tertinggal sekian detik. Akibatnya, dia peminder, takut gagal. Banyak kali saya temukan dia kurang cekatan mengerjakan tes, telat kumpul tugas. Bukan karena malas, tapi pengalaman tidak enak itu. G jujur, karena skornya pas 70 juga. Kalau mau, mamanya bisa menuntut sempurna.
Murid ketiga, Je. Terhitung kritis di kelas, mengerjakan belakangan. Tumben. Rupanya, dia belum diberi HP pribadi, harus pinjam orang tua. Saya lebih yakin Je jujur.Â
Jauh sebelum pandemi, saat Penilaian Tengah Semester mapel Pendidikan Agama, Je mendapat lembar soal yang ada isian spidol merah. Tak ambil tempo, "Mister, ini kok sudah ada jawabannya?", disambut protes kaum oportunis, "Harusnya dilihat dulu jawabannya!"
Apakah mereka yang kilat-kilat ini mengerjakan sambil berpikir, cap-cip-cup atau sekenanya? Tak ada instrumen kontrol baku, kecuali jawaban pertama di-"submit" yang akan dinilai. Itu pun masih bisa diakali.
Lebih parah, ada orang tua "antik", mengerjakan tes atau tidak sudah pasti naik kelas. Bravo! Tipe manusia tidak adaptif. Tes dan instrumen selama belajar dari rumah takkan relevan mengukur kenaikan dan kelulusan. Tapi, jika dalam kondisi ini orang tua menyepelekan, mentalitasnya lembek!
Jadi, apa yang diuji lewat tes online? Bagi sekolah, jelas pengetahuan. Bagi orang tua, relatif. Apakah mereka menaruh pengetahuan di atas kejujuran---melebihi segala-galanya, atau menyelaraskan keduanya. "Orang tua yang jujur, melatih anaknya jujur."
Salam,
@kraiswan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI