Ada yang tak sampai sejam selesai. Ada yang mengeluh karena gambarnya tidak keluar. Ada yang hampir magrib baru nongol. Ada yang sampai jam 20.00 WIB tak sadar ada tes. Mungkin melihat dulu semua soal, mencatat, lalu membuka buku baru mengerjakan. Aih, be positive, please!
Kejujuran bukan genetis. Ia perlu dilatih, dihadapkan pada "salah" dan "benar, "baik" dan "jahat". Berikutnya dia harus memilih, menjadi diri sendiri, atau orang lain.
--kraiswan
Saya adakan analisis sederhana bersama rekan. Rombong murid yang saat di kelas banyak omong, tidak mudengan, doyan remidi; pas tes online nilainya di atas 80 (hampir di semua mapel). Sedang murid yang cemerlang, skornya di bawah rombong pertama. Tes online menjungkirbalikkan tatanan kemampuan murid rupanya.
Masalahnya, tes itu mengukur pengetahuan atau kejujuran murid?
Ada tiga murid unik, semua perempuan. Murid pertama, Jc, lahir dan besar di Singapura, kemampuan Bahasa Indonesia di bawah teman-temannya, namun pengetahuannya luas, kritis.
Selama pembelajaran di kelas, dia sering bertanya karena penjelasan saya tidak jelas, atau ada frasa yang asing. Saya tahu dia jujur. Dari mana? "Mister, kenapa susah sekali?" Skor Tematik 70, pas KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal), dan itu wajar karena keterbatasan Berbahasa Indonesia.
Murid kedua, G. Diam-diam jago karate, meski posturnya kurus; sopan. G punya pengalaman tidak enak, disalahkan mamanya saat lomba renang karena tertinggal sekian detik. Akibatnya, dia peminder, takut gagal. Banyak kali saya temukan dia kurang cekatan mengerjakan tes, telat kumpul tugas. Bukan karena malas, tapi pengalaman tidak enak itu. G jujur, karena skornya pas 70 juga. Kalau mau, mamanya bisa menuntut sempurna.
Murid ketiga, Je. Terhitung kritis di kelas, mengerjakan belakangan. Tumben. Rupanya, dia belum diberi HP pribadi, harus pinjam orang tua. Saya lebih yakin Je jujur.Â
Jauh sebelum pandemi, saat Penilaian Tengah Semester mapel Pendidikan Agama, Je mendapat lembar soal yang ada isian spidol merah. Tak ambil tempo, "Mister, ini kok sudah ada jawabannya?", disambut protes kaum oportunis, "Harusnya dilihat dulu jawabannya!"
Apakah mereka yang kilat-kilat ini mengerjakan sambil berpikir, cap-cip-cup atau sekenanya? Tak ada instrumen kontrol baku, kecuali jawaban pertama di-"submit" yang akan dinilai. Itu pun masih bisa diakali.