Mohon tunggu...
Kris Wantoro Sumbayak
Kris Wantoro Sumbayak Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jadi Petani Itu Berat, Aku pun Tak Kuat

14 Mei 2020   13:37 Diperbarui: 14 Mei 2020   13:30 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi lahan | KRIS WANTORO

"Ke ladang yuk, menengok keadaan". Yaelah, keadaan kok ditengok. Ada-ada saja ibuku. Diajaknya aku ke ladang pada suatu hari di tengah pekan di masa #kerjadarirumah. Bagi orang-orang serupa profesi dengan ibu, di rumah berarti tidak dibayar. Daripada gaje, dia ngajak refreshing.

Bagi wong ndeso macam kami, jalan-jalan menyibak semak tinggi, di bawah naungan pepohonan, menyeberang kali dangkal, memetik apa yang tumbuh berkawan semilir angin mengusap pipi; disebut piknik. Gratis. Tidak macet. Pulangnya dapat bahan masakan.

Namun jadi petani itu berat, aku pun tak kuat. Meski punya cukup lahan, bapakku tak mau bertani. Demi menutup lubang kehidupan, menukar tenaga dengan sejumlah rupiah lebih menjanjikan dibanding mengolah tanah yang hasilnya tak tentu. Setidaknya begitu sebelum pandemi menimpa.

Baca juga: Bertanam, Suatu Tekad Menimbun Manfaat

Seperti apa beratnya kehidupan petani?

Mengolah Susah, Nunggunya Lama

Jadi petani harus sabar, telaten dan tabah. Bertanam merupakan proses panjang dan berliku hingga tiba masa menuai. Dari pemilihan dan penyemaian bibit, menggemburkan tanah, memberi pupuk, menabur benih, membiarkan hujan memberikan kehidupan pada "anak-anaknya".

Selang berapa minggu, si bibit mulai tumbuh. Namun, ada tanaman lain yang ikut tumbuh meski tak ikut ditanam. "Tak tandur pari, jebul thukule malah suket teki...", kata mendiang Pakde Didi. Rumput teki dan jajarannya itulah pencuri nutrisi tanaman. Si petani harus menyiangi tanamannya dari flora pengganggu ini. Belum lagi predator macam wereng, ulat, burung, tikus atau jamur tanaman, yang oleh para ahli yang mempelajari makhluk hidup disebut menyeimbangkan ekosistem.

Sudah nunggunya lama, hasilnya dong-dongan. Lagi pula tak ada yang instan dalam pertanian. Harus bersabar setidaknya tiga bulan sebelum panen. Memangnya keluarganya bisa makan sabar?

Gagal Panen, Siap Berhutang

Petani palawija biasanya sedikit lebih untung dibanting petani padi. Soalnya, belum pernah aku dengar tuh impor jahe, kencur atau kapulaga. Ups!

Mereka, petani palawija ini biasanya masih bisa mengecap manis hasil panennya. Apalagi kalau yang ditanam itu produk unggulan, diincar banyak orang pula. Kapulaga misalnya, dalam situasi normal sekilo kering dibanderol Rp.50.000 - Rp.80.000 dari petani. 

Sekarang, karena langka sekilo mencapai Rp.300.000 di pasar! Atau jahe, normalnya Rp.30.000/kg, gegara Corona melonjak sampai Rp.100.000. Hebat. Bisa kaya dong petaninya. Kaya dari Sahara! Orang barangnya tidak (belum tentu) tersedia.

Kalau gagal panen, entah akibat musim tak bersahabat, jajahan predator atau bencana; ya nasib. Hasil yang harusnya dipakai membayar kebutuhan, kuliah anak misalnya, malah untuk kebutuhan harian pun terancam. Solusinya? Ngutang. Panen berikutnya, kalau panennya bagus baru dibayar. 

Belum kalau bulan-bulan mendatang ada tagihan macam-macam. Susah kali ya kan... Beda dengan pedagang yang kalau pasarnya bagus, untungnya selangit, bisa buat menutup lubang.

 

Menanam sayur sekedar untuk konsumsi pribadi | KRIS WANTORO
Menanam sayur sekedar untuk konsumsi pribadi | KRIS WANTORO

Tak bisa kaya

Kalau mau kaya, jangan jadi petani

Kok gitu? Ya iyalah. Kekayaan hanya milik mereka yang bisa memainkan harga di pasar dengan mengatur keberadaan stok. Sedang takdir petani ya hanya menanam, merawat, dan menanam. Mau harga murah atau harga melangit, tetap kudu menanam.

Ada cerita menarik. Seorang kakak angkatan, suaminya berdarah Belanda. "Kalau di Belanda, yang naik Ferari itu malah para petani. Tak ada yang pakai motor. 

Bertolak belakang dengan di Indonesia". Weleh-weleh. [Kompasianer yang hobi ke Belanda, betulkah begitu?] Harga buah dan sayur di Belanda itu mahal, karena mengandung vitamin dan gizi tinggi, apalagi makanan pokoknya roti, lanjutnya. Di Indonesia? Tumpeh-tumpeh sampai dibuang karena busuk.

Mari wisata sejenak. Buka buku paket IPS halaman 95, baca dalam hati semua paragraf! Pada masa pendudukan Belanda, rakyat harus menggarap tanahnya sendiri, menyerahkan hasilnya kepada penjajah. Yang punya tanah siapa, yang banting hidup siapa, yang meraup untung siapa. Bukankah penjajahan mental masih eksis saat ini?

Berat 'kan guys. Ini kali ya sebabnya anak muda sekarang, apalagi milenial ogah jadi petani

Meski begitu, Tuhan menganugerahkan para petani jiwa yang tulus. Pernah aku dan pacar travelling ke Jogja via Kopeng. Pas ada petani sayur yang sedang panen. Mumpung lewat, beli sayur dong langsung dari petani. Bisa untuk oleh-oleh dan dimasak di rumah. Aku nempil (membeli barang dengan seadanya uang) Rp.5.000. Cukuplah seikat kecil, pikirku. Tapi yang terjadi malah kami diberi seplastik besar macam mau kulakan (profesi tengkulak). Wadaw. "Ndak papa, kami kan tidak berdagang mas", jelas seorang bapak. Iya sih, tapi... Akhirnya kukode pacarku agar menambahkan jumlah uangnya tanpa mereka tahu.

Satu hal, meski hidup berat jadi petani tak menghalangi untuk memberi lebih.

Salam,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun