Petani palawija biasanya sedikit lebih untung dibanting petani padi. Soalnya, belum pernah aku dengar tuh impor jahe, kencur atau kapulaga. Ups!
Mereka, petani palawija ini biasanya masih bisa mengecap manis hasil panennya. Apalagi kalau yang ditanam itu produk unggulan, diincar banyak orang pula. Kapulaga misalnya, dalam situasi normal sekilo kering dibanderol Rp.50.000 - Rp.80.000 dari petani.
Sekarang, karena langka sekilo mencapai Rp.300.000 di pasar! Atau jahe, normalnya Rp.30.000/kg, gegara Corona melonjak sampai Rp.100.000. Hebat. Bisa kaya dong petaninya. Kaya dari Sahara! Orang barangnya tidak (belum tentu) tersedia.
Kalau gagal panen, entah akibat musim tak bersahabat, jajahan predator atau bencana; ya nasib. Hasil yang harusnya dipakai membayar kebutuhan, kuliah anak misalnya, malah untuk kebutuhan harian pun terancam. Solusinya? Ngutang. Panen berikutnya, kalau panennya bagus baru dibayar.
Belum kalau bulan-bulan mendatang ada tagihan macam-macam. Susah kali ya kan... Beda dengan pedagang yang kalau pasarnya bagus, untungnya selangit, bisa buat menutup lubang.
Tak bisa kaya
Kalau mau kaya, jangan jadi petani
Kok gitu? Ya iyalah. Kekayaan hanya milik mereka yang bisa memainkan harga di pasar dengan mengatur keberadaan stok. Sedang takdir petani ya hanya menanam, merawat, dan menanam. Mau harga murah atau harga melangit, tetap kudu menanam.
Ada cerita menarik. Seorang kakak angkatan, suaminya berdarah Belanda. "Kalau di Belanda, yang naik Ferari itu malah para petani. Tak ada yang pakai motor.
Bertolak belakang dengan di Indonesia". Weleh-weleh. [Kompasianer yang hobi ke Belanda, betulkah begitu?] Harga buah dan sayur di Belanda itu mahal, karena mengandung vitamin dan gizi tinggi, apalagi makanan pokoknya roti, lanjutnya. Di Indonesia? Tumpeh-tumpeh sampai dibuang karena busuk.