Mohon tunggu...
Kraiswan
Kraiswan Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Tak Hanya dari COVID-19, Mari Belajar dari Guru Avan

2 Mei 2020   20:03 Diperbarui: 2 Mei 2020   20:13 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Agar tidak dungu, tak gampang ditipu orang; supaya tahu memakai produk teknologi, tidak ketinggalan zaman; biar paham keadaan di benua lain, bisa jadi bangsa yang maju; kau harus belajar! Tak peduli datang bencana alam atau virus mematikan, entah dalam perang atau kondisi tenang; mesti tetap belajar!

Kira-kira begitulah bunyi semangat pendidikan yang perlu terus digaungkan untuk pendidikan nasional saat ini.

Berdasarkan himbauan mas menteri, demi memutus rantai penyebaran virus, belajar harus dilakukan dari rumah. Itu berarti proses belajar dilakukan dengan sistem daring. Benturan budaya kembali menghantam para pendidik. Tak hanya diombang-ambingkan oleh dinamika kurikulum, kini mereka harus kembali memutar otak dalam menyiapkan pembelajaran online.

Jadikan setiap tempat sebagai sekolah, jadikan setiap orang sebagai guru

--Ki Hajar Dewantoro

Kutipan yang indah dan relevan hingga sekarang, meski tak semua kepala mampu menafsirkannya ke dalam realita.

Pembelajaran tatap muka saja masih ada murid kebingungan, lha ini mau jarak jauh. Yakin, berhasil? Atas nama keselamatan penduduk Bumi, waktu ini mari kita robohkan sekat-sekat kriteria keberhasilan. Memenangkan peperangan lebih penting daripada meraih keberhasilan sesuai kurikulum.

Kapan lalu terjadi obrolan oleh rekan-rekan saya yang punya rekan di sekolah negeri (baca: PNS). Para abdi negara ini diwajibkan mengunjungi rumah muridnya sebagai bagian dari rincian tugas. Loh, masyarakat diminta menjaga jarak, mengurangi interaksi dengan orang di luar rumah, malah gurunya disuruh kunjungan, bukankah ini bertentangan dengan usaha pemerintah? Memang pemerintah daerah itu lucu.

Senada dengan cerita rekan saya, rupanya ada guru yang juga nekat mengunjungi muridnya di rumah, bahkan tanpa instruksi dari pimpinan. Kok berani sekali?

Bedanya, kisah yang ini saya anggap menginspirasi di dunia pendidikan, yang terpancar dari timur Pulau Jawa, tepatnya di Kabupaten Sumenep, Madura. Terdapatlah seorang bapak guru di ujung kepala tiga, Avan Fathurrahman, pejuang pendidikan di SD Negeri Batuputih Laok 3 yang mengklaim dirinya bukan guru yang baik karena melanggar himbauan menteri pendidikan dan kebudayaan untuk bekerja dari rumah. (kompas.com)

Pelanggarannya bukan tanpa alasan, apalagi kurang kerjaan. "Gempuran" teknologi komputer dan internet membuat belajar dari rumah terlampau mungkin diaplikasikan. Satu pertanyaan mendasar, apakah semua murid sudah mendapat cukup fasilitas untuk belajar di rumah?

Faktanya, di bawah langit khatulistiwa ini masih ada murid yang tidak punya fasilitas pendukung seperti ponsel pintar. Boro-boro ponsel, TV saja tak ada. Kalaupun ada ponsel, biaya untuk membeli pake data menjadi beban tambahan bagi anak-anak petani ini. Jadi tak perlu jauh-jauh membicarakan pulau yang ada tidak ada di peta Google. Ketertinggalan ini masih di daerah Jawa, kabupaten paling timur di Pulau Madura.

Di saat para murid mulai mengeluh harus belajar di rumah kebanyakan tugas, ditambah curhatan para emak-emak yang merapel beban guru (padahal tersedia fasilitas lengkap); murid-murid Guru Avan tak ada kesempatan untuk mengeluh

Keterbatasan ekonomi sebagai keluarga petani menyajikan kehidupan yang sederhana, tidak semua memiliki perangkat elektronik sebagai media belajar. Sudah begitu, waktu dan tenaga orang tua muridnya dihabiskan di ladang agar kebutuhan harian tercukupi.

Kenyataan ini yang membuat Guru Avan tidak bisa duduk diam. Kewajibannya sebagai guru jelas, menyiapkan pembelajaran online. Perkara muridnya punya fasilitas atau tidak, itu bukan deritanya. Namun nuraninya "memaksanya" mengajar ke rumah muridnya untuk mengajari mereka satu persatu. Salut!

Guru Avan sedang mengajar murid-muridnya, foto: Facebook/ AVAN FATURRAHMAN
Guru Avan sedang mengajar murid-muridnya, foto: Facebook/ AVAN FATURRAHMAN
Guru Avan sedang mengajar murid-muridnya, foto: Facebook/ AVAN FATURRAHMAN
Guru Avan sedang mengajar murid-muridnya, foto: Facebook/ AVAN FATURRAHMAN

Niat baiknya bukan tanpa hambatan. Guru Avan harus menempuh jarak hingga 20 km, apalagi kalau hujan, harus berjalan melewati sawah demi menjangkau rumah muridnya.

Belum lagi kekhawatiran keluarganya, yang syukurnya memberikan restu. Guru juga bukannya tidak takut terkena virus, namun dia beriman Tuhan akan melindunginya. Bukankan setiap prajurit di medan perang harus siap terkena peluru?

Pihak orang tua merasa senang dan tenang meninggalkan anak ke sawah atau ladang. Malah ada orang tua yang memintanya datang setiap hari, seolah tugas Guru hanya mengurusi anaknya. Manusia tuh memang gitu, maunya enak melulu.

Sedangkan pihak sekolah juga mendukung, meskipun bukan dalam bentuk dana. Bagi Guru Avan ini bagian dari panggilannya, melebihi tugasnya sebagai guru.

Seandainya suara nurani Guru Avan tidak didengarnya, sedangkan tidak ada perintah dari sekolah, maka anak-anak yang tidak punya ponsel itu "tidak bisa belajar".

Masih berdasar anjuran pemerintah, pembelajaran tidak mengharuskan kurikulum sebagai tolok ukur. Guru Avan tidak hanya mengajar pengetahuan akademis, melainkan pengetahuan kontekstual yaitu pemahaman tentang membantu orang tua, menjaga kesehatan, apa itu COVID-19, dan mengingatkan untuk taat beribadah. Inilah potret sejati seorang guru. Di luar label PNS atau honorer, seorang guru sejati harus terus berusaha memudahkan muridnya bisa belajar.

Baca juga: Si Idealis Matematika, Guru Aini

Pada hakekatnya, kutipan menteri pendidikan pertama Indonesia di atas ada benarnya. Setiap orang bisa dijadikan guru, dan setiap tempat dijadikan ruang belajar. Tapi seperti dialami Guru Avan, latar belakang keluarga beberapa muridnya menyebabkan tidak semua orang bisa dijadikan guru, orang tuanya sekalipun! Maka, Guru Avan menjadi teladan ideal, bagaiman profesi dan panggilan guru bisa dihidupi bersamaan meski di tengah pandemi.

Saya yakin, ada Guru Avan yang lain di sudut negeri ini, yang jika semuanya berani "melanggar" seperti yang dilakukannya, maka ada atau tidak ada ponsel, pendidikan di negeri ini bisa maju. Semoga.

Bagi Guru Avan dan pejuang pendidikan "sekelas"-nya, saya mengangkat pena.

Selamat Hari Pendidikan Nasional!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun