Hal ini sekaligus menjadi "kuliah" bagi milenial umumnya. Prestasi di kampus jempolan dalam dan luar negeri, bahkan bisa memimpin perusahaan yang diperhitungkan Majalah Forbes sekalipun bukan jaminan bisa bekerja dalam birokrasi pemerintahan.
Yang diperlukan adalah belajar, belajar dan terus belajar. Harus lebih banyak pertimbangan dan pengalaman daripada sekedar cuitan dan tindakan kebablasan
Mengutip dari pinterpolitik.com, stafsus ini seharusnya bisa mendengar aspirasi kaum muda yang bisa disampaikan langsung atas apa yang menjadi keresahannya di tengah pandemi agar segera dilakukan perbaikan dan dieksekusi. Mereka juga memiliki peluang terbesar untuk aktif memberikan rekomendasi perbaikan kebijakan pemerintah yang dinilai minor oleh publik, yaitu saat "diskusi" dengan presiden.
Belajar dari menteri muda
Langkah "mundur cantik" diteladankan eks-CEO Gojek, Nadiem Makarim. Pernah diincar isu konflik kepentingan terkait pembayaran SPP dengan aplikasi, Nadiem bergerak cekatan. Keberhasilannya menahkodai startup raksasa di Indonesia memungkinkan hal itu terwujud. Namun, daripada menjadi batu sandungan, Nadiem memutuskan lambaikan tangan.
Dengan demikian dia bisa lebih berfokus memberikan sumbangan nyata pada pemerintah di bidang pendidikan. Bagaimana pun, orang tidak bisa tinggal di dua rumah.
Aditya Perdana, Direktur Eksekutif Puskapol UI menghimbau, apabila perlu, kehadiran para stafsus di sisi Jokowi dipertimbangkan ulang. Daripada sekedar "mengisi pemerintahan dengan milenial" (lokadata.id)
Kembali pada lagu princess, mau maju atau mundur?
Majulah jika memang benar dan mumpuni, mundur saja jika terbukti salah dan belum mampu.
Salam,
Referensi:
Video: Youtube/Cokro TV/ Time Line