Mohon tunggu...
Kris Wantoro Sumbayak
Kris Wantoro Sumbayak Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Keputusan Tepat di Saat Darurat

7 April 2020   13:56 Diperbarui: 7 April 2020   14:18 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hidup berisi serangkaian keputusan. Mau bangun jam berapa. Perlu sarapan atau tidak. Mau nge-teh atau ngopi. Mau ngebut atau tenang. Akan membuat story apa di media sosial. Ke luar rumah pakai master atau tidak.

Bahkan, tidur dan tidak melakukan apa pun padahal dalam kondisi sehat tetaplah keputusan

Umpamanya anda berada di tepi jurang sedalam belasan meter dengan batu terjal dan sungai deras di bawah sana sementara di belakang sekelompok serigala beringas menyerang karena sebulan tak makan. Ada daratan lain di seberang terpisah 4 meter.

Jika anda diam, gerombolan serigala dengan rela melumat anda, atau tempat anda berpijak runtuh seketika. Jika melompat ada kemungkinan selamat (dengan probabilitas 1,01%) atau tetap jatuh ke sungai. Mau menggertak serigala? Jangan melawak. Serba sulit bukan. Bak makan buah simalakama. Tapi anda harus mengambil keputusan!

Saya ingin tetap menulis, namun berusaha me-"lockdown" dari tagar COVID-19 yang berpotensi menimbulkan keresahan sedang jumlah penderita kian bertambah. Ngomong-ngomong tentang keputusan, berikut beberapa pengalaman di tengah pandemi.

Bayangkan anda punya anak 11 tahun, ikut kursus musik. Anda tahu dia tidak mahir tapi suka musik. Sebagai orang yang dipercaya Pencipta untuk mengasuh ciptaan lain, anda akan menjaga amanah ini. 

Sudah bertahun-tahun belajar, anak anda hanya menyabet paling mentok urutan kedua pada kompetisi. Tapi, dia bahagia bukan main. Mana mungkin anda tidak bahagia atas kebahagiaannya. Sambil memberi sedikit dorongan "Harus belajar lebih tekun, lebih keras ya, kalau bisa juara satu" Angan yang mulia.

Di sekolah dasar tempat saya mengajar, setiap kelas dijadwalkan perform sebulan sekali mengisi pujian dalam ibadah Minggu. Kelas 5, anak-anak wali saya mendapat jadwal bulan Januari. Tapi diundur Februari karena kelas 1 belum mendapat jatah bulan Desember. Diundur lagi karena yayasan memutuskan bulan Februari diisi dari unit lain. Dua kali diundur, kami masih bakoh.

Yang namanya anak-anak, saat diberitahu perform menyanyi pakai gerakan, memakai baju favorit, pasti gembira bukan buatan. Kurang lebih tiga minggu kami latihan di sela-sela kesibukan tes tengah semester dan pesta siaga. Mereka tetap gereget.

Jumat sore, tiga hari sebelum #belajardirumah pak kepala memanggil saya, menanyakan apakah memungkinkan kalau perform anak-anak ditunda bulan berikut, atau jika tidak, batal. Wadaw. Alasannya? Pembicara ibadah mau mengisi tampilan. Kenapa mendadak? Dari pembicara juga mendadak informasinya. Oh. Persiapan tiga minggu harus digeser informasi yang datang dua hari sebelum pentas. Jika itu terjadi pada anak anda, keputusannya?

Sebagai kroco, saya tak kuasa membantah. Saya bertanggung jawab ngemong (mengayomi) anak-anak saya. Bukan perform-nya yang jadi masalah, tapi perasaan mereka. Sudah dua kali ditunda, dan sekarang mau dibatalkan? No way!

Dari tiga kali ibadah, jatah kami di ibadah 2, sedang ibadah 3 sudah diisi murid SMP. Satu-satunya peluang adalah di ibadah 1 dengan konsekuensi jam 7 sudah siap di lobi. Tambahkan, kami harus mengumumkan kepada orang tua, dadakan.

Hari H. Tiga rangkaian ibadah pembicaranya sama. Ibadah 1 dimulai, selesai materi dipaparkan, waktunya anak-anak tampil. Lancar, meski sedikit fals. Satu anak tak hadir karena orang tuanya tak membuka grup WA. Setelah anak-anak dijemput, kami bersiap untuk tugas choir di ibadah 2. Hingga selesai ibadah, jeng jeng... tidak ada perform apa pun dari pembicara.

Mewakili anak-anak, saya japri kepala sekolah, kok di ibadah 2 tidak ada tampilan. "Pembicaranya tiba-tiba membatalkan" Tiga kata yang terasa pahit. Dadakan akan mengisi tampilan yang berpotensi merenggut sukacita anak-anak saya, segampang itu dibatalkan. Fine. 

Dibatalkan atau diajukan? Saya pilih yang kedua. Sama-sama beresiko, pilihan ini lebih minim. Seandainya saya putuskan "batal" sedang pembicara yang hobi dadakan juga membatalkan tampilan, anak-anak jadi korban.

Bagi Ros, tetap produksi adalah keputusan terbaik yang diambil atasannya. Jangan salahkan virus jika harga empon-empon melonjak. Salahkan saja kelompok manusia yang latah, tak siap menghadapi "perang". Rombongan manusia yang baru mengonsumsi minuman herbal karena takut diserang virus.

Ros bekerja di sebuah home industry di daerah Jakarta. Perusahaannya memproduksi produk-produk herbal di antaranya jamu (kunyit asam, lemongrass, beras kencur) siap minum, gula jahe dan unggulannya VCO (Virgin Coconut Oil). 

Pemerintah mengampanyekan #workfromhome, namun Ros dan teman-temannya bukan ahli perangkat lunak, maka bekerja dari rumah adalah mustahil. Salah satu rekan senior Ros menganjurkan pada bosnya untuk libur demi keselamatan bersama. Syukur langkah itu tidak diambil.

Kebutuhan akan jahe meningkat tajam. Tak sampai hitungan minggu, stok gula jahe mereka ludes. Kemudian, beredar video suspek suatu virus kondisinya berangsur-angsur membaik setelah rutin mengonsumsi VCO. Stok kembali ludes. Ros dan teman-temannya tetap ngantor dengan menerapkan sosial distancing dan dalam ruang gerak terbatas. Ini menjadi momentum bagi perusahaan Ros untuk men"jamu"kan masyarakat.

Ini tentang bisnis, tapi tak semata karena uang. Seandainya atasan Ros memutuskan libur, maka sepuluh orang yang di perusahaan rumahan itu tak bisa beli beras untuk keluarganya. Pelanggan yang mengonsumsi produk mereka jadi sehat, daya tahan tubuhnya terjaga. Syukurnya harga jual mereka masih masuk akal, bukan mental spekulan.

Kampanye "Jangan mudik" menjadi penjara bagi mereka yang tidak dipekerjakan dari rumah. Berdiam diri di kos/ rumah kontrakan tanpa penghasilan adalah bunuh diri perlahan. Mau apa jika tidak kerja sedang perut dan paket data harus terus diisi. Lebih baik mudik, bisa kumpul dengan keluarga---di samping potensi besar membawa oleh-oleh virus.

Di balik pro-kontra yang memanas, adalah Wargiyati, lurah di Banyubiru, Jawa Tengah yang gerak cepat memanfaatkan dana desa untuk merenovasi ruangan serba guna untuk mengisolasi para pemudik, khususnya dari zona merah. Sang gubernur mengapresiasi sikap cekatan sang ibu lurah (suaramerdeka.com). Begini dong, beri jalan keluar, jangan hanya koar-koar.

Keputusan serupa harusnya menjadi panutan bagi kepala daerah lain, berikan solusi untuk mencegah bahaya akibat hasrat mudik yang tak mungkin dicegah ini.

Demikian ulasan saya. Setiap kita, perorangan atau lembaga, harus membuat keputusan dengan resiko sekecil mungkin. Syukur-syukur keputusan solutif, bukannya destruktif.

Salam,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun