Mohon tunggu...
Kris Wantoro Sumbayak
Kris Wantoro Sumbayak Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Review Film "The Greatest Showman"

3 April 2020   22:02 Diperbarui: 3 April 2020   22:20 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertama kali aku diajak bapak nonton sirkus adalah waktu SD di alun-alun Kota Salatiga. "Wow, keren!" Aku terpukau melihat mamalia air bernama lumba-lumba bisa melompat sangat tinggi melewati ring. Atau singa laut menahan bola di ujung moncongnya. Bagaimana bisa mereka melakukannya? Kuanggap itulah pertunjukan terhebat!

Hiduplah remaja anak penjahit miskin. Sepatu yang "lapar", pakaian kumal, rambut kusut. Phineas membantu ayahnya mengukur pakaian di rumah seorang kaya. 

Di sudut ruangan, anak tuan rumah sedang diajari table manner. Saat tuan putri diminta minum tanpa suara, Phineas mengambil wadah, dikaitkan dengan sebuah besi, lalu minum dari cangkirnya menyisakan sepotong kain di mulut. 

Otomatis sang putri tertawa, menyemburkan minumannya. Dianggap tidak sopan, sang putri ditegur ayahnya. "Itu ulahku", Phineas mengaku. Satu tamparan mendarat di pipi, larangan untuk mendekati putrinya. Tak ada ruang bagi si miskin di tempat si kaya.

Di pantai dekat rumah si kaya, anak penjahit merenung. Mungkinkah dia meraih mimpi? Charity, sang putri datang menghibur. Sambil menyanyi, mereka berjalan-jalan ke sekitar rumah tua. Mereka pun menjadi sahabat.

Waktu bergulir, Charity harus belajar di sekolah asrama di kota lain. Ayah Phineas sakit keras, akhirnya meninggal. Sudah miskin, sebatang kara pula. Ia mencuri roti agar bertahan hidup. Malang, dia dikejar oleh penjual roti dan direbutnya roti itu. Tiba-tiba, seorang perempuan berwajah aneh di balik kerudung memberinya apel.

Phineas kecil telah dewasa, sudah bekerja, siap menghampiri Charity mewujudkan impiannya. Mereka menikah, punya anak, menyewa rumah dan hidup sederhana. Cobaan pertama datang. Perusahaan kapal tempat Phineas bekerja bangkrut. Dia jobless, kehidupan keluarganya terancam. Dia dilanda takut dan bersalah. Tak bisa memberi kehidupan yang pernah dijanjikan kepada Charity.

Keluarga adalah ikatan antarmanusia yang memiliki hubungan darah. Suami-isteri. Orang tua-anak. Kakak-adik. Kakek-nenek-cucu. Namun, dalam film ini keluarga melampaui sekat tersebut.

Michael Gracey menggarap film demikian memukau dengan lagu dan gerakan apik para pemainnya, alur cerita singkat, menghibur dan bernas. Tokoh utamanya dikisahkan dari dua kalangan kontras. Phineas anak penjahit miskin, sebatang kara. Charity, anak konglomerat terpandang. Namun, kekuatan cinta sejati mampu merobohkan tembok kesenjangan, melahirkan keajaiban dengan kehadiran anak-anak, dan mengangkat mereka yang terbuang dari lubang kegelapan. Penerimaan.

Mendapat pinjaman dana dari bank, Phineas menyewa gedung museum berisi bermacam patung. Namun sejak museum beroperasi, tak ada satu pun pengunjung. Tidak ada yang ingin melihat benda mati, kata putrinya. Orang ingin melihat sesuatu yang hidup. Yang sensasional seperti Putri Duyung atau unicorn. Di meja kerjanya ia merenung. Dilihatnya buku dongeng Tom Thumb dan apel, memutar ingatannya pada perjumpaan dengan perempuan berparas aneh-berhati mulia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun