Mohon tunggu...
Kraiswan
Kraiswan Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Teledor vs Koruptor, Netizen Bisa Apa?

2 Maret 2020   21:38 Diperbarui: 3 Maret 2020   09:34 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Guru iku digugu lan ditiru. Guru berarti dipercaya dan diteladani.

Jika seorang tidak bisa dipercaya apalagi diteladani, sejatinya dia bukan guru. Mungkin orang yang menjelma jadi guru.

Jagad pendidikan baru saja dihangatkan "Bayar SPP bisa pakai gopay". Ada yang berspekulasi mas menteri melakukan kong-kalikong dengan eks-unicorn yang dipimpinnya, gojek. Netizen mah, bebas!

Belum lagi memanas, berita berganti "Susur sungai berujung hati hancur". Kenapa begitu saya katakan begitu? Susur sungai (21/2/2020), bagian dari Pramuka (tidak jelas untuk tujuan apa, kegiatan tersebut dirapatkan mendadak secara online [1]), malah merenggut 10 nyawa siswa SMP N 1 Turi, Sleman. Tiga orang guru sekaligus pembina ditetapkan sebagai tersangka.

Dari lalu-lalang pemberitaan media, yang men-dongkol-kan saya adalah, kenapa tidak ada klarifikasi dari pentholan-nya, sang kepala sekolah. Barangkali saya kurang membaca berita.

Apakah kepala sekolahnya tahu resiko acara susur sungai ini? Di mana posisi kepala sekolah saat kejadian? Paling parah, apakah kepala sekolah tahu ada kegiatan ini?

Beberapa hari setelah kejadian netizen pasti sepakat bahawa IYA, satu dari tiga pembina bukan guru yang baik. Teledor, mengabaikan keselamatan karena tidak melakukan survei, hanya berpegang pada hukum "biasanya". Pembina ini tidak paham manajemen resiko, meski sudah mengantongi sertifikat kepramukaan dasar.

Jangankan sertifikat kepramukaan, yang sudah profesor saja bisa memalsukan ijazah.

Sebagai orang yang menginisiasi program, IYA meninggalkan tempat saat pelaksanaan kegiatan, hanya demi urusan ke bank. Sudah diperingatkan warga, namun dijawab nyinyir, kalau mati itu di tangan Tuhan. Dengan daftar tersebut, saya juga ingin rasanya berkomentar negatif.

Namun, pandangan publik berubah saat pihak kepolisian bertindak. Para pelaku mengaku menyesal, bersedih bahkan menangis atas perbuatan mereka, memenuhi iktikad baik (tidak kabur jalan-jalan seperti para koruptor!), tapi bisa-bisanya dilecehkan. Beberapa pihak berusaha membela ketiga pelaku.

Tersangka kok dibela?

Tiga guru itu salah, menghilangkan nyawa. Mereka berdosa, betul. Mereka tidak profesional, memang. Mereka tidak pantas menjadi teladan, sayangnya iya. Tapi dapatkah tindakan polisi kepada pendidik bangsa itu dibenarkan?

Salah satu yang membela mereka adalah pengurus PB PGRI, yang menganggap penggundulan dan penelanjangan kaki adalah tindakan merendahkan martabat guru. Cara mereka dihakimi jauh dari layak. Sedangkan koruptor yang merampas hidup banyak umat, justru diladeni berfoto narsis, boro-boro dibotakin.

Banyak yang menanyakan, seperti apa SOP penggundulan untuk pelaku kriminal. Bahkan adakah SOP-nya? Jika mereka berani menggunduli guru yang lalai, beranikah menggunduli koruptor yang lihai? Rasanya tidak. Berarti ada pilih kasih dalam penerapan hukum di negeri ini. #saveguru

PB PGRI melalui aku media sosialnya sudah menulis surat terbuka kepada presiden dan kapolri, meminta mereka segera mengambil tindakan. Maklumlah jika mereka membela martabat sejawatnya. Justru aneh jika markas besar guru ini bergeming atas duka yang menimpa keluarganya.

Orang tua korban berduka, barangkali menyesal menitipkan anaknya di SMP N 1 Turi. Orang tua yang anaknya selamat barangkali kehilangan kepercayaan kepada pihak sekolah, yang bahkan sang kepala tidak ada suaranya. Jika ada pilihan, bisa saja mereka memindahsekolahkan anaknya.

Para siswa berduka, karena kehilangan teman-temannya dan kesal karena pembina yang tidak bertanggung jawab.

Netizen, bisa apa?

Ada kecenderungan kita akan membenarkan satu pihak lalu menyalahkan yang lain. Namun, sebagai netizen bijak hendaknya kita belajar dari kejadian ini. Ujaran negatif tidak dapat menyelesaikan persoalan. Tidak dapat membatalkan rapat dadakan yang terlanjur dieksekusi.

Jika anda orang tua/ wali murid, harusnya kritis pada setiap kegiatan sekolah, apalagi jika di luar lingkungan sekolah. Naif sekali jika 249 orang tua tak mengkritisi atau setidaknya sekedar menanyakan program dadakan semacam ini.

Jika anda tenaga pendidik atau pegawai di satuan pendidikan, harusnya paham manajemen resiko.

"Menggembalakan" 40 murid dalam satu kelas saja setengah mati, mana mungkin enam orang mengawasi 249 anak di tepi sungai. #mikir

Saya pribadi, sebagai remah dunia pendidikan, turut berduka untuk para korban dan keluarga yang ditinggalkan.

Pesan moral: 1) Hidup mati memang di tangan Tuhan. Tapi celaka jika kita diberi akal budi lalu tidak bisa menjaga, menyepelekan kesehatan (nyawa) yang Tuhan berikan.

2) Benarlah, menjadi guru itu tak mudah. Tak hanya bertempur di dalam kelas, guru bertanggung jawab atas keselamatan murid-muridnya di luar kelas.

Baca juga: Jadi Guru itu Berat, Kamu tak Akan Kuat

Daripada mengeluarkan ujaran kebencian di media sosial, sambil terus berdoa dan insaf, hendaknya kita mendorong semua pihak, dari orang tua, pihak sekolah, kemendikbud sampai netizen yang tidak ada hubungannya langsung; supaya kita lebih menghargai kesehatan yang Tuhan anugerahkan. Lebih kritis atas pendidikan anak-anak kita. 

Bukannya pasrah bongkok (menyerahkan seluruhnya, pasrah sama sekali) kepada sekolah. Supaya pihak kepolisian juga lebih objektif memperlakukan tersangka, dan kapolri atau pimpinan daerah mendisiplin polisi yang dianggap melecehkan martabat guru. Minimal, kepala sekolah buka mulut, dong.

Salam merdeka belajar!

__________

[1] kompas.com, 02 Maret 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun